BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ada beberapa ulama' Pemikir Pembaru Islam yang
sangat berpengaruh didalam sejarah pemikiran Islam, salah satunya yaitu Syekh Muhammad Abduh.
Pemikirannya
membawa dampak yang signifikan dalam berbagai tatanan kehidupan pemikiran
masyarakat meliputi aspek penafsiran Al-Qur'an, pendidikan, sosial masyarakat,
politik, peradaban dan sebagainya. Beliau adalah seorang mufti , suatu jabatan
keagamaan yang tertinggi di Mesir dan masih banyak sekali kelebihan-kelebihan
yang beliau miliki.
Negeri-negeri
yang pernah dikunjunginya adalah Libanon, Siria, Turki, Switserland, Perancis,
Inggris, Tunis, Aljazair, Sicilia, dan Sudan.
1.2
Rumusan Masalah
Pertama, bagaimana riwayat hidup Syekh Muhammad Abduh? Kedua, bagaimana
konsep pemikiran yang digagas oleh Syekh Muhammad Abduh? Ketiga, apa saja
karya-karya Syekh Muhammad Abduh?
1.3
Tujuan
Pertama, penulis ingin menjelaskan
riwayat singkat Muhammad Abduh. Kedua, mendiskripsikan pemikiran-pemikiran
Muhammad Abduh. Ketiga, agar pembaca mengetahui apa saja karya-karya Muhammad
Abduh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Riwayat Hidup Singkat Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin 'Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir
pada tahun 1894 M, di desa Mahallat Nars di kabupaten Buhairoh, Mesir. Ia
termasuk golongan yang tidak kaya dan bukan tergolong bangsawan. Walaupun
begitu, ayahnya dikenal sebagaiorang terhormat yang suka memberi pertolongan.
Kekerasan yang diterapkan penguasa-peguasa Muhammad 'Ali dalam memungut pajak
menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk menghindarinya.
Setelah selesai menghafal Qur'an, maka pada
tahun 1862 M ia dikirim ke kota Tanta, untuk belajar ilmu-ilmu keislaman di
sana, tetapi pelajaranya tidak berlangsung lama. Karena anjuran pamannya ia mau
kembali ke Tanta pada tahun 1865 M dan pada tahun berikutnya ia pergi ke Kairo
dan terus menuju ke masjid al-Azhar, untuk hidup sebagai seorang sufi.
Pada tahun 1872 M, Syekh M. Abduh berhubungan dengan Jamaluddin al-Afghani,
untuk kemudian menjadi muridnya yang setia.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar
"Alim", Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum,
dan di rumahnya. Pada tahun
1879 Abduh di usir dari kota Kairo karena dianggap ikut dalam pengadaan gerakan
penentangan terhadap Khedewi Taufiq yang mana tuduhan itu pula terjadi
Al-Afghani. Kemudia pada tahun 1880 beliau di perbolehkan kembali ke
ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan
Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai
tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat
artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita
resmi.
Setelah revolusi Urabi 1882
(yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih memimpin surat kabar
Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah
Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak
kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di
Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya
Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah
al-Urwah al-Wusqa pada tahun 1884. Karya-karyanya
yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern.
Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fuqaha yang masih memperselihkan
masalah furuiyyah. Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan
Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke
Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat
Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu
dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.
2.2
Pemikiran
– pemikiran Muhammad Abduh
Syekh
Muhammad Abduh adalah termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman
modern. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk
menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Walaupun pada saat itu ia
diserang oleh orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan
pendapat-pendapatnya membahayakan kaum Muslim (penentangan yang dilakukan
sebelum pembaharuan ini dilaksanakan), musuh-musuhnya sendiri sangat diragukankebersihan
niat mereka, dan kebersihan pribadinya, dan pembelaan
terhadap agama ini.
Sedikit
ulasan mengenai Muhammad Abduh bahwasannya dulu beliau berguru tarekat
syadziliyah kepada pamannya Syekh Darwis. Beliau banyak belajar mengenai
filsafat, logika, matematika. Kemudian beliau berkenalan dengan sayid
jamaluddin al – afghani pengikut syiah isna asyariah, beliau kagum dan belajar
jurnalistik tetapi beliau tetap netral dan kritis dalam berpikir. Dia mengambil
manhaj berpikrnya bukan mengambil natijah berpikirnya. Tetapi kemudian dibantah
oleh para syekh al azhar bahwa beliau menganut mu’tazilah.
Atas
dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat
besar kepada aqal.Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun
Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kekuatan yang lebih
tinggi kepada akal dari pada mu’tazilah.
Diantara
pemikiran – emikiran beliau adalah sebagai berikut :
a.
Kedudukan
Akal dan Fungsi Wahyu
Ada
dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana
diakuinya sendiri, yaitu:
1) Membebaskan
akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan
pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3
Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber
pokoknya, Al-Quran.
2) Memperbaiki
gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau
meratapi perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid
Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat
yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal
dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka
telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam
masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad
Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal
dapat mengetahui hal-hal berikut :
a. Tuhan
dan sifat-sifat-Nya;
b. Keberadaan
hidup di akhirat;
c. Kebahagiaan
jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik,
sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan
melakukan perbuatan jahat;
d. Kewajiban
manusia mengenal Tuhan;
e. Kewajiban
manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di
akhirat;
f. Hukum-hukum
mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak
ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal
bertentang maka ada dua kemungkinan :
1) Wahyu
sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
2) Kesalahan
dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk
menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara
rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk
kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat
itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam
hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh
tentang peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu
baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan
untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya menolong akal
untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan
masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan
pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara
beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh
berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan
pengetahuan akal dan informasi.
b.
Kebebasan
Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia
juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada
dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan
manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya
itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
c.
Sifat-sifat
Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun
mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia
menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian
Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk
esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.
d.
Kehendak
Mutlah Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia,
Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak
mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatanya.
Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah
secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah
ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya
sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang
diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
e.
Keadilan
Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan
kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau
ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi
pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan
untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
mamfaat bagi manusia.
f.
Antropormorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak
dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang
memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan
sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini.
Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan
pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.
g.
Melihat
Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah
Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya
di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada
tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan)
sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan
kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang
tertentu di akhirat.
h.
Perbuatan
Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang
wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan
untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
2.3
Karya-karya Syekh Muhammad Abduh
Di tengah-tengah kesibukannya, ia
sempat menerbitkan buku-buku karangannya, yaitu :
1.
Risalatut Tauhid, tahun 1897.
2.
Al-Islam Wan Nasraniyah ma'al Ilmi wal
Madaniyyati, tahun, 1902.
3.
Ulasan (syarah) buku "al-Bashairun
Nasiriah", karangan al-Qadhi Zainuddin, tahun 1898.
Pada saat itu, ia tidak dapat menyelesaikan Tarsirannya yang telah
mendapat perhatiannya yang khusus di mana hanya sebagiannya saja yang dapat
terbit pada masa hidupnya. Tefsir tersebut kemudian diperiksa kembali dan
diselesaikan oleh kawan dan murid-muridnya juga, yaitu Syekh Muhammad Rasyid
Ridha, dan pertama-tama dimuat dalam majalah al-Manar, yang di terbitkan sejak
tahun 1897.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang tokoh
filsafat yang terkenal pada masanya, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh
bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten
al-Buhairah, beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari al-Qur’an sejak
kecil. Dan beliau melanjutkan pendidikan formalnya di Universitas Al-Azhar
Kairo
DAFTAR PUSTAKA
Razak, Abdur dan
Anwar, Rosihan. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006. Hanafi, A. Pengantar Theologhy Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967.