BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Salah satu isu penting yang
mengiringi gelombang demokratisasi adalah munculnya wacana multikulturalisme.
Multikulturalisme pada intinya adalah kesediaan menerima kelompok lain secara
sama sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama. Menurut Gurpreet Mahajan konsep multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurutnya, sekitar tahun 1950-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnya. Multikulturalisme memberi penegasan seseorang atau kelompok bahwa dengan segala perbedaannya diakui dan sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara. Multikulturalisme adalah “pengakuan pluralisme budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok-kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya kelompok-kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka diakui”. Fokus kepedulian diarahkan pada kelompok etnis, kelompok minoritas termasuk perempuan. Multikulturalisme terumus dalam bentuk “sejumlah prinsip, kebijakandan praksis untuk mengakomodasi keberagaman sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari suatu masyarakat”. Jadi, arah multikulturalisme lebih menuju pada upaya untuk menciptakan, menjamin dan mendorong pembentukan ruang publik yang memungkinkan beragam komunitas bias tumbuh dan berkembang disesuaikan dengan kemampuan jangkauan langkah masing-masing.[1]
sama sebagai kesatuan tanpa memedulikan perbedaaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama. Menurut Gurpreet Mahajan konsep multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurutnya, sekitar tahun 1950-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnya. Multikulturalisme memberi penegasan seseorang atau kelompok bahwa dengan segala perbedaannya diakui dan sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara. Multikulturalisme adalah “pengakuan pluralisme budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok-kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya kelompok-kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka diakui”. Fokus kepedulian diarahkan pada kelompok etnis, kelompok minoritas termasuk perempuan. Multikulturalisme terumus dalam bentuk “sejumlah prinsip, kebijakandan praksis untuk mengakomodasi keberagaman sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari suatu masyarakat”. Jadi, arah multikulturalisme lebih menuju pada upaya untuk menciptakan, menjamin dan mendorong pembentukan ruang publik yang memungkinkan beragam komunitas bias tumbuh dan berkembang disesuaikan dengan kemampuan jangkauan langkah masing-masing.[1]
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian pendidikan multikultural?
2. Bagaimana
pendekatan pendidikan multikultural di Indonesia?
3. Bagaimana urgensi pendidikan
multikultural di Indonesia?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan
multikultural.
2. Untuk mengetahui pendekatan pendidikan
multikultural di Indonesia.
3. Untuk mengetahui urgensi pendidikan
multikultural di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural hingga saat ini belum dapat didefinisikan secara baku. Namun, ada
beberapa pendapat para ahli mengenai pendidikan multikultural. Diantaranya
adalah Andersen dan Cusher (1994:320) mengartikan pendidikan multikultural
sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993:
3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people
of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan
sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Dimana dengan adanya kondisi tersebut
kita mampu untuk menerima perbedaan dengan penuh rasa toleransi. Seperti
definisi di atas, Muhaemin el Ma’haddi berpendapat bahwa pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam
merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan.
Adapun Paulo
Freire seorang pakar pendidikan pembebasan mendefinisikan bahwa pendidikan
bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial
dan budaya. Melainkan pendidikan itu harus mampu menciptakan tatanan masyarakat
yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya
mengagungkan suatu kelas sosial sebagai akibat dari kekayaan dan kemakmuran
yang diperolehnya.[2] Pendidikan multikultural merupakan
respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan
hak bagi setiap kelompok. Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok-kelompoknya, seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan
agama.
B.
Pendekatan Pendidikan Multikultural di Indonesia.
Pendidikan multikultural di
Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan
Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi,
yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar
mengajar; (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultural dalam
tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung tantangan
yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas
"merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang
ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan
apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami
diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari
budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural
lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang
toleran dan bebas toleransi.
Ada beberapa pendekatan dalam proses
pendidikan multikultural yaitu[3]:
1. Tidak
lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau
pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang
lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan
pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi
kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan
justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program
sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2. Menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah
sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks
pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para
penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan
kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik
mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai
kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
3. Karena
pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan
pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok
adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi
pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara
logis.
4. Pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan
mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
5. Kemungkinan
bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan
kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini
kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhomi antara
pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk
sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan
kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran
ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk
menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik. [4]
Dalam konteks keIndonesiaan dan
kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi
masyarakat Indonesia.
C.
Urgensi
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Indonesia
adalah negara yang terdiri dari beragam masyarakat yang berbeda seperti agama,
suku, ras, kebudayaan, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya menjadikan
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Dalam kehidupan yang
beragam seperti ini menjadi tantangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia
menjadi satu kekuatan yang dapat menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman
masyarakatnya.
Hal
ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada
anak-anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Seorang guru
bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan terhadap anak didiknya dan
dibantu oleh orang tua dalam melihat perbedaan yang terjadi dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Namun pendidkan multikultural bukan hanya sebatas kepada
anak-anak usia sekolah tetapi juga kepada masyarakat Indonesia pada umumnya
lewat acara atau seminar yang menggalakkan pentingnya toleransi dalam
keberagaman menjadikan masyarakat Indonesia dapat menerima bahwa mereka hidup
dalam perbedaan dan keragaman.
Ada tiga
tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia,
yaitu:
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara
aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai
suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan
masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau
fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama
terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat. Masing-masing
individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan
di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada
pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural
untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang
penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang
plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko
dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga
timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.
3. Toleransi
Toleransi
merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi
dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan
adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu
mempertahankan keyakinannya.Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia
yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan
multikultural.[5]
Adapun
pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu:
1. Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan
pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi solusi nyata
bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya.
Dengan kata laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif
pemecahan konflik sosial-budaya.[6]
Struktur
kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber
perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab
besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya
luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari
berbagai macam budaya. Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum
digunakan dalam proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai
instirusi pendidikan dapat mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural
dengan model masing-masing sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya
sendiri. Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada. Namun,
hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing suku,
budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari
realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa
pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang. Maka,
penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila
terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak
bermusuhan, dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku,
bahasa, dan lain sebagainya. Menurut Stephen Hill, pendidikan multikultural
dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal
itu dikarenakan adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam
pendidikan multikultural. Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya
kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak
selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2. Agar peserta didik tidak meinggalkan akar budaya
Selain
sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga
signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan akar
budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia berhubungan dengan realitas
sosial-budaya di era globalisasi. Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini
bisa menjadi ‘ancaman’ serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas
tersebut, peserta didik tersebut hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam.
Sehingga peserta didik tersebut memiliki kemampuan global, termasuk kebudayaan.
Dengan beragamnya kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri, peserta didik
perlu diberi pemahaman yang luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak
melupakan asal budayanya. Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah
antisipatif terhadap tantangan globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan
memudahkan adanya persentuhan antar budaya. Tantangan dalam dunia pendidikan
kita, saat ini sangat berat dan kompleks. Maka, upaya untuk mengantisipasinya
harus dengan serius dan disertai solusi konkret. Jika tidak ditanggapi dengan
serius terutama dalam bidang pendidikan yang bertanggung jawab atas kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) maka, peserta didik tersebut akan kehilangan arah dan
melupakan asal budayanya sendiri. Sehingga dengan pendidikan multikultural
itulah, diharapkan mampu membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia saat ini.[7] Karena
keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan sebuah
kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan
multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting
apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai
oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan
multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti sekarang menjadi
filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang
pendidikan dan unit pendidikan.
b. Harus
merubah teori tentang konten (curriculum content) yang
mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi,
menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan keterampilan
(skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c.
Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur
keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
d.
Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara
belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif.
Dengan cara tersebut, perbedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai suatu
kekuatan kelompok dan siswa terbiasa untuk hidup dengan keberanekaragaman
budaya.
e.
Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek
kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang
dikembangkan.
4. Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan
masyarakat sipil yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi
keadilan, pemerintah yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta
rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga
masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan
hanya merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut
tentang keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara
menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari
terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar
kebudayaan satu sama lain.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara
lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos,
kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan,
kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain
privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan kosnep-konsep lain yang
relevan.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku budaya,
bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan multikultural.
Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam
inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik.
Seiring
dengan perkembangan zaman dan waktu juga dapat mempengaruhi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sehingga banyak terjadi berbagai macam perubahan di masyarakat
yang diakibatkan oleh masuknya berbagai macam budaya baru dari luar negeri ke
Indonesia. Melalui pendidikan multikultural yang memperkenalkan budaya asli
kepada peserta didik diharapkan agar peserta didik tidak melupakan asal
budayanya sendiri.
Namun
demikian, pendidikan multikultural tidak hanya dipelajari dalam pendidikan
normal saja. Melainkan pendidikan multikultural itu harus dipelajari oleh
masyarakat luas, secara non formal melalui berbagai macam diskusi, presentasi.
Agar dapat terciptanya masyarakat Indonesia yang tentram dan damai.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Fay,
Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Sience: A Multicultural
Approach. Oxrofd:Backwell.
Freire,
Paulo. 2000. Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3S.
Hernandez,
Hilda. 2002. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context,
Process, and Content. New Jersey & Ohio: Prentice Hall.
Media
Indonesia, Rabu, 08 September 2008.
Munib,
Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press.
https://www.scribd.com/doc/24643744/Urgensi-Pendidikan-Multikultural-Di-Indonesia
diakses pada tanggal 14 maret jam 06.40.
[1] https://www.scribd.com/doc/24643744/Urgensi-Pendidikan-Multikultural-Di-Indonesia
diakses pada tanggal 14 maret jam 06.40
[2] Paulo Freire, Pendidikan Pembebasan (Jakarta: LP3S, 2000)
[3] Choril Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2011, hal. 191-196)
[4] (www.
Edchange.org/multicultural)
[5] Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan. (Semarang: Unnes
Press, 2009, hal. 100)
[6] Media Indonesia, Rabu, 08 September 2008.
[7]Munib, Achmad, Pengantar Ilmu Pendidikan.
(Semarang: Unnes Press, 2009, hal. 105)
[8] Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Sience: A
Multicultural Approach (Oxrofd:Backwell,1996, hal. 203).
No comments:
Post a Comment