Search makalah

Tuesday, 7 November 2017

MAKALAH ILMU KALAM

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Ada beberapa ulama' Pemikir Pembaru Islam yang sangat berpengaruh didalam sejarah pemikiran Islam, salah satunya yaitu Syekh Muhammad Abduh. Pemikirannya membawa dampak yang signifikan dalam berbagai tatanan kehidupan pemikiran masyarakat meliputi aspek penafsiran Al-Qur'an, pendidikan, sosial masyarakat, politik, peradaban dan sebagainya. Beliau adalah seorang mufti , suatu jabatan keagamaan yang tertinggi di Mesir dan masih banyak sekali kelebihan-kelebihan yang beliau miliki.
Negeri-negeri yang pernah dikunjunginya adalah Libanon, Siria, Turki, Switserland, Perancis, Inggris, Tunis, Aljazair, Sicilia, dan Sudan.
1.2         Rumusan Masalah
Pertama, bagaimana riwayat hidup Syekh Muhammad Abduh? Kedua, bagaimana konsep pemikiran yang digagas oleh Syekh Muhammad Abduh? Ketiga, apa saja karya-karya Syekh Muhammad Abduh?
1.3         Tujuan
Pertama, penulis ingin menjelaskan riwayat singkat Muhammad Abduh. Kedua, mendiskripsikan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Ketiga, agar pembaca mengetahui apa saja karya-karya Muhammad Abduh.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1         Riwayat Hidup Singkat Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin 'Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir pada tahun 1894 M, di desa Mahallat Nars di kabupaten Buhairoh, Mesir. Ia termasuk golongan yang tidak kaya dan bukan tergolong bangsawan. Walaupun begitu, ayahnya dikenal sebagaiorang terhormat yang suka memberi pertolongan. Kekerasan yang diterapkan penguasa-peguasa Muhammad 'Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk menghindarinya.[1]
Setelah selesai menghafal Qur'an, maka pada tahun 1862 M ia dikirim ke kota Tanta, untuk belajar ilmu-ilmu keislaman di sana, tetapi pelajaranya tidak berlangsung lama. Karena anjuran pamannya ia mau kembali ke Tanta pada tahun 1865 M dan pada tahun berikutnya ia pergi ke Kairo dan terus menuju ke masjid al-Azhar, untuk hidup sebagai seorang sufi.[2]
Pada tahun 1872 M, Syekh M. Abduh  berhubungan dengan Jamaluddin al-Afghani, untuk kemudian menjadi muridnya yang setia.[3] Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar "Alim", Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian di Dar Al-Ulum, dan di rumahnya. Pada tahun 1879 Abduh di usir dari kota Kairo karena dianggap ikut dalam pengadaan gerakan penentangan terhadap Khedewi Taufiq yang mana tuduhan itu pula terjadi Al-Afghani. Kemudia pada tahun 1880 beliau di perbolehkan  kembali ke ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih memimpin surat kabar Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa pada tahun 1884. Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fuqaha yang masih memperselihkan masalah furuiyyah. Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.[4]
2.2         Pemikiran – pemikiran Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh adalah termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Walaupun pada saat itu ia diserang oleh orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum Muslim (penentangan yang dilakukan sebelum pembaharuan ini dilaksanakan), musuh-musuhnya sendiri sangat diragukankebersihan niat mereka, dan kebersihan pribadinya, dan pembelaan terhadap agama ini.[5]
Sedikit ulasan mengenai Muhammad Abduh bahwasannya dulu beliau berguru tarekat syadziliyah kepada pamannya Syekh Darwis. Beliau banyak belajar mengenai filsafat, logika, matematika. Kemudian beliau berkenalan dengan sayid jamaluddin al – afghani pengikut syiah isna asyariah, beliau kagum dan belajar jurnalistik tetapi beliau tetap netral dan kritis dalam berpikir. Dia mengambil manhaj berpikrnya bukan mengambil natijah berpikirnya. Tetapi kemudian dibantah oleh para syekh al azhar bahwa beliau menganut mu’tazilah.[6]
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada aqal.Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kekuatan yang lebih tinggi kepada akal dari pada mu’tazilah.[7]
Diantara pemikiran – emikiran beliau adalah sebagai berikut :
a.             Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:[8]
1)   Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.
2)   Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :
a.     Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
b.    Keberadaan hidup di akhirat;
c.    Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
d.    Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
e.    Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat;
f.     Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan :[9]
1)    Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
2)    Kesalahan dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
b.             Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
c.              Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.
d.             Kehendak Mutlah Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.
Kehendak mutlah Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
e.              Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.
f.              Antropormorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.
g.             Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
h.             Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
2.3         Karya-karya Syekh Muhammad Abduh
Di tengah-tengah kesibukannya, ia sempat menerbitkan buku-buku karangannya, yaitu :
1.             Risalatut Tauhid, tahun 1897.
2.             Al-Islam Wan Nasraniyah ma'al Ilmi wal Madaniyyati, tahun, 1902.
3.             Ulasan (syarah) buku "al-Bashairun Nasiriah", karangan al-Qadhi Zainuddin, tahun 1898.
Pada saat itu, ia tidak dapat menyelesaikan Tarsirannya yang telah mendapat perhatiannya yang khusus di mana hanya sebagiannya saja yang dapat terbit pada masa hidupnya. Tefsir tersebut kemudian diperiksa kembali dan diselesaikan oleh kawan dan murid-muridnya juga, yaitu Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan pertama-tama dimuat dalam majalah al-Manar, yang di terbitkan sejak tahun 1897.[10]



           
           
BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang tokoh filsafat yang terkenal pada masanya, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari al-Qur’an sejak kecil. Dan beliau melanjutkan pendidikan formalnya di Universitas Al-Azhar Kairo














DAFTAR PUSTAKA
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006. Hanafi, A.  Pengantar Theologhy Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967.




[1] Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2012), hal. 252
[2] A. Hanafi, Pengantar Theologhy Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967), hal. 157
[3] Ibid
[4]Abdul Razak dan Rosihon Anwar,........... hal. 253
[5] Husayn, Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Cet. VIII; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 301.
[6] Prof.Dr.K.H Sahilun Nashir, Pemikiran kalam (teologi islam) (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2002)
[7] Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, hal. 76.
[8] Prof.Dr Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Edisi. Revisi: Bandung: Pustaka setia, 2012 ), hal. 253.
[9] http://ayugadismanja.blogspot.co.id/2013/05/pemikiran-kalam-moderen-menurut-muhamad_3.html
[10] A. Hanafi,......... hal. 158

No comments:

cari judul makalah