Search makalah

Saturday, 25 November 2017

MAKALAH FIQIH (PUASA)

KATA PENGANTAR

   Puji syukur kami  panjatkan ke Hadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan rahmat dan karunianya solawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Yang telah memberi kita jalan yang lurus yaitu Ad Dinul Islam. Dalam mata kuliah Fiqih kami mendapatkan tugas makalah dari Bapak Ahmadiono, M.EI, yang bertema PUASA dan Alhamdulillah makalah ini  dapat terselesaikan. Tentunya kami  mengucapkan terima kasih kepada dosen kami yaitu Bapak Ahmadiono M.EI yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Fiqih karena tanpa bimbingan beliau kami akan kesulitan dalam tugas ini dan kami juga berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.

 Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan yang ditemukan selama pengerjaan makalah ini, walaupun begitu kiranya masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini baik dalam hal isi, sistematika maupun teknik penulisannya. Sehingga peran serta semua pihak dalam hal kritik dan saran membangun sangatlah kami butuhkan untuk bisa membuat makalah yang lebih baik di waktu mendatang. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca dan dapat membantu semua pihak dalam menambah pengetahuan dan wawasannya.

Jember, Maret 2013


Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Puasa merupakan salah satu dari rukun islam yang ke tiga. kita sebagai umat muslim wajib menjalankan puasa yang telah di tentukan. Konsepsi puasa dalam pemaknaan istilah seringkali dimaknai dalam pengertian sempit sebagai suatu prosesi menahan lapar dan haus serta yang membatalkan puasa yang dilakukan pada bulan ramadhan. Padahal hakekat puasa yang sebenarnya adalah menahan diri untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim terhadap umat lain yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks ini, interaksi sosial dapat digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang dampaknya akan memberikan kemungkinan adanya tenggang rasa antar umat manusia.
Seperti puasa Ramadhan yang mana Ramadhan merupakan bulan dimana kita harus dapat mengendalikan diri kita, hal yang utama yang harus kita lakukan dalam pelaksanaan puasa ramadhan adalah kita harus menjadi penguasa dan raja bagi diri kita sendiri kita harus benar-benar mengendalikan menurut aturan Illahi yang berlaku. Kalau berbicara harus kita kendalikan demikian juga dengan mata semuanya harus kita kendalikan dengan baik. Pada bulan Ramadhan ini kita harus seperti kepongpong masuk seperti ulat berbulu yang ditakuti dan menjijikan dan keluar sebagai kupu-kupu yang indah yang begitu disenangi banyak orang, yang dapat kita artikan sebusuk dan sekotor apapun diri kita ,setelah menjalankan ibadah puasa ini kita harus menjadi orang yang memiliki kepribadian yang indah dan bermanfaat bagi dirikita sendiri dan orang lain. Di bulan suci Ramadhan inilah kesempatan yang baik untuk megembleng diri agar menjadi terindah dan terbaik sebagai jalan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.



B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apa pengertian puasa ?
  2. Apa pengertian puasa Ramadhan dan kejadian-kejadian yang terjadi di bulan Ramadhan ?
  3. Apa pengertian Ru’yahtul Hilal dan Hisab ?
  4. Bagaimana pendapat ulama’ tentang Ru’yatul Hilal dan Hisab ?

C.    Tujuan Penulisan
a.    Untuk Memahami tentang puasa.
b.   Untuk memahami tentang puasa Ramadhan dan mengetahui kejadian-kejadian di bulan Ramadhan.
c.    Untuk memahami pengertian Ru’yatul Hilal dan Hisab.
d.  Untuk mengatahui pendapat Ulama’ tentang Ru’yatul Hilal dan Hisab dalam menentukan puasa Ramadhan.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PUASA
Puasa (Saumu), menurut bahasa ialah ”menahan dari segala sesuatu” seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.[1]
            Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari segala sesuatu yag membatalkan, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan di sertai niat semata-mata karena Allah dan beberapa syarat-syarat tertentu”.[2]
Firman Allah swt.

Artinya :
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”(Al-Baqoroh:187)
Sabda Rasulullah Saw.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِذَا اَقْبَلَ اللَّيْلُ وَادْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ.  رواه البخارى و مسلم


Artinya :
Dari ibnu Umar. Ia berkata, “saya telah mendengar Nabi besar saw. bersabda, ‘Apabila malam datang, siang lenyap, dan matahari telah terbenam, maka sesengguhnya telah datang waktu berbuka bagi orang yang puasa’.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)

B.     PUASA RAMADHAN
1.      Ramadhan terpilih sebagai bulan puasa
Puasa ramadhan sebagai salah satu jenis puasa wajib seperti yang telah di uraikan pada bagian terdahulu, merupakan puasa pokok dan paling utama di bandingkan dengan puasa-puasa wajib lainnya. Puasa ramadhan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah SWT pada bulan ramadhan selama sebulan penuh. Bulan ramadhan di pilih oleh Allah SWT sebagai bulan di wajibkannya puasa, bukannya karena bulan ramadhan lebih istimewa atau lebih tinggi statusnya dari bulan-bulan qamariyah lainnya. Semua bulan tersebut kedudukan dan statusnya adalah sama. [3]
Puasa bulan Ramadhan itu merupakan salah satu dari rukun islam yang lima, diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun kedua sesudah Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah. Hukumnya fardu ‘ain atas tiap-tiap mukallaf baligh dan berakal).
Puasa ramadhan di wajibkan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.[4] Dalil al-qur’an ialah firman Allah : al-baqarah  ayat 183,


Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah:183)
Dalil as-Sunnah terdapat dalam sabda nabi saw : islam didirikan atas lima perkara …, di antaranya disebutkan tentang puasa. Dan sabdanya kepada seorang  A’robi :
وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ.
Artinya :
… dan puasa bulan ramadhan. Berkata A’rabi,  “ apakah ada kewajiban lain atasku?” jawab rasul, “tidak, kecuali jika engkau hendak bersukarela (tathawwu’).”
Dalil ijma’ adalah tidak di riwayatkan adanya penentangan dari seorang imam pun tentang wajibnya puasa yang sampai kepada kita. Mengenai kepada siapakah puasa di wajibkan, maka tidak ada pilihan lagi bahwa ia diwajibkan atas orang dewasa, berakal, tidak bepergian sehat dan tidak ada sifat yang menghalangi berpuasa yaitu haid bagi wanita. Hal ini tidak di perselisihkan lagi berdasarkan firman allah: surat al-baqarah ayat 185,   



Artinya :
 “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah:185)
Rasulullah Saw.telah mengajarkan puasa sembilan kali Ramadan, delapan kali 29 hari, satu kali pas 30 hari. Beliau bekata dalam hadis Bukhari, “Bulan itu kadang-kadang 30 hari, kadang kadang 29 hari.”
Puasa Ramadan diwajibkan atas tiap-tiap orang mukallaf dengan salah satu dari ketentuan-ketentuan berikut ini:[5]
1.      Dengan meliht bulan bagi yang yang melihatnya sendiri.
2.      Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga pulah hari, maksudnya bulan tanggal Sya’ban itu dilihat. Tetapi kalau bulan tanggal satu Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan hitungan, sempurnanya tiga puluh hari.
3.      Dengan adanya melihat (ru-yat) yang di perselisihkan oleh seorang yang adil di muka hakim.
4.      Dengan kabar mutawattir, yaitu kabar orang banyak, sehingga mustahil mereka akan dapat sepakat berdusta atau sekata atau kabar yang dusta.
5.      Percaya kepada orang yang melihat.
6.      Tanda-tanda yang bisa dilakukan di kota-kota besar untuk memberitahukan kepada orang banyak (umum), seperti lampu, meriam, dan sebagainya.
7.      Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli hisab (ilmu bintang).

Terpilihnya ramadhan sebagai saat di wajibkannya puasa, bukanlah karena status atau kedudukannya yang lebih tinggi dari bulan-bulan lainnya, tetapi adalah karena pada bulan ramdhan tersebut banyak kejadian-kejadian penting yang berpengaruh besar terhadap pembinaan kehidupan umat manusia ini.[6]
Kejadian-kejadian tersebut adalah :
a.      Turunnya Al-Qur’an
Wahyu pertama diturunkan Allah SWT kepada rasulullah SAW melalui malaikat Jibril pada bulan Ramadhan. Wahyu pertama ini (Al-Qur’an) merupakan titik tolak yang mendasar dalam menggerakkan perkembangan rohaniah terbesar serta melahirkan suatu umat baru (umat islam). Al-Qur’an pulalah yang telah mengangkat kembali derajat manusia dari lembah kenistaan dan kejumudan dengan anjurannya untuk menggunakan akal fikiran dalam menghadapi dan mengamati alam semesta ini. Al-Qur’an mengumandangkan ajaran tauhid dan menyuruh manusia untuk melepaskan diri dari belenggu berhala atau sembahan-sembahan lainnya. Dan masih banyak lagi hikmat dan pedoman yang harus di petik manusia dari Al-Qur’an.
b.      Lailatul Qadar
Lailatul Qadar sebagai suatu malam yang penuh dengan kemuliaan dan keutamaan jatuhnya pada bulan ramadhan, dalam berbagai hadits disebutkan bahwa Lailatul Qadar itu terdapat pada salah satu dari sepuluh malam terakhir bulan ramadhan.
Lailatul Qadar dengan keutamaannya lebih baik dari seribu bulan, merupakan tumpuan keinginan bagi umat islam untuk dapat menikmatinya.
Firman Allah SWT :

    
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.[7] Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar:1-3)
c.       Kemenangan besar Muhammad Rasulullah SAW.
Bulan Ramadhan merupakan bulan kemenangan Rasulullah SAW beserta pengikutnya terhadap kaum kafir Quraisy. Seperti :
1). Kemenangan dalam perang Badar yang di kenal sebagai Hari Furqan atau hari pemisah antara yang benar (islam) dengan yang bathil (kafir Quraisy) seperti firman Allah SWT :


Artinya :
 “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[8], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[9], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[10] yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan[11], Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[12] (QS. 41)
Hari Furqon tersebut jatuhnya pada tanggal 17 Ramadhan (Jum’at) tahun kedua Hijriah.
2). Jatuhnya kota Makkah dari tangan kafir Quraisy kepada umat islam pada bulan Ramdhan.
2.      Waktu puasa Ramadhan
Jangka waktu pelaksanaan puasa Ramadhan adalah sebulan penuh yaitu selama bulan Ramadhan yang berkisar antara 29 atau 30 hari. Waktu puasa dimulai dari terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah SWT :


Artinya :
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[13] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

C.    RU’YAH DAN HISAB
Ru’yah dan Hisab adalah dua istilah yang popular dikalangan umat islam sebagai cara untuk menetapkan waktu permulaan puasa. Sebenarnya kedua istilah tersebut bukanlah kegunaannya hanya untuk menetapkan waktu permulaan puasa, tetapi juga untuk menetapkan idul fitri, idul adha, menetapkan awal bulan tiap bulan Qomariyah serta juga untuk menetapkan waktu sholat. Lebih dari itu hisab di gunakan pula untuk menetapkan arah kiblat.
Ada dua jenis cara perhitungan mengenai tanggal, bulan dan tahun, yaitu perhitungan Qomariyah dan perhitungan Syamsiah atau perhitungannya berlainan. Perhitungan Qomariyah (Hijriah) di dasarkan atas perjalanan bulan dengan jumlah waktu 29 atau 30 hari setiap bulannya. Sedangkan perhitungan Syamsiah (masehi) didasarkan atas perjalanan matahari dengan jumlah waktu 30 hari dan 31 hari setiap bulannya, kecuali bulan februari yang berkisar antara 28 dan 29 hari. Kedua jenis perhitungan sama-sama mempunyai 12 bulan dalam setahunnya, yaitu untuk bulan Qomariyah adalah Muharam, Safar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah. Sedangkan untuk bulan Syamsiah adalah Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember. Dari adanya perbedaan tersebut maka bulan-bulan Qomariyah setiap tahunnya lebih pendek dari bulan Syamsiah, lebih kurang 12 hari. Karena itu pula maka adanya bulan Ramadhan, bila di ukur dengan bulan Syamsiah selalu bergeser kedepan. Dan ini mengakibatkan bulan ramadhan itu akan dapat di alami oleh seluruh bulan Syamsiah. Dan ini pula sebagai tanda keadilan Allah SWT yang meratakan pelaksanaan bulan Ramadhan pada segala musim. Khususnya di barat, di mana di kenal empat musim setiap tahunnya yaitu musim dingin (winter), musim bunga (spiring), musim panas (summer) dan musim rontok (autumu). Seseorang yang berpuasa akan mengalami panas yang membakar ataupun dingin yang membeku, tetapi kesemuanya itu sebagai ujian dan tanda kepatuhan terhadap Allah SWT.
Masuknya bulan Ramadhan dan tanggal mulainya idul fitri sebagaimana yang umum di kenal, masyarakat islam di tentukan oleh Ru’yah dan Hisab.[14]
Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapakan awal bulan Qamariyah (Ramadhan) dengan jalan melihat dengan panca indra mata timbulnya atau munculnya bulan sabit dan bila udara mendung atau cuaca buruk sehingga bulan tidak dapat dilihat maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).
Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariah (Ramadhan) dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat di tentukan secara eksak letak bulan, dengan demikian di ketahui pula awal bulan Qamariyah tersebut.
Perbedaan Dua jenis perhitungan tersebut terletak dalam memandang dan memahami serta menafsirkan ayat Al-Qur’an dan Hadits seputar masalah Ru’yah dan Hisab. Ayat-ayat Qur’an dan Hadits tersebut adalah :

      
Artinya :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu                       melainkan dengan hak[15]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Dari dua jenis pendapat tersebut (Ru’yah dan Hisab) ada baiknya di catat pendapat Prof. T.M. Hasbi Ash-Sidieqy dalam bukunya pedoman Ibadah Puasa boleh mempergunakan salah satu dari dua tersebut, baik sistim Hisab Ataupun Ru’yah.

D.    PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG RU’YAH DAN HISAB[16]
1)      Ulama’ madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
Menerangkan apabila cuaca di langit bebas dari penghalang  ru’yatul hilal (melihat bulan), maka haruslah bisa di lihat oleh sekelompok manusia yang cukup banyak yang dari khabar yang di sampaikan oleh mereka tumbuh pengertian. Ukuran banyak dalam hal ini di serahkan kepada imam (kepala Negara) atau wakilnya. Jadi tidak mesti dalam hal tersebut jumlah yang di tentukan. Demikian ketentuan hukum yang kuat. Dalam beberapa saksi pada ru’yat ini di syaratkan hendaknya mereka menyebutkan ucapan Asyhadu (saya bersaksi).
Apabila cuaca di langit tidak bebas dari beberapa hal yang menghalangi tersebut, namun ada seseorang yang menyampaikan khabar bahwasannya dia melihat bulan baru atau hilang, maka di nilai cukuplah kesaksiannya itu apabila ia seorang muslim yang adil, berakal sehat dan sudah dewasa. Baginya tidak di syaratkan mengucapkan perkataan saya bersaksi sebagaimana halnya tidak di syaratkan penetapan hukum dan tidak juga penetapan majelis peradilan.
Apabila cuaca di langit terdapat penghalang, maka tidak wajib bagi sekelompok kaum muslimin melihat bulan. Sebab sulitnya melihat bulan ketika itu. Tentang masalah saksi, maka tak ada bedanya antara saksi perempuan dan laki-laki, merdeka atau budak. Jika ada seseorang melihat hilal sedangkan dia tergolong orang yang di anggap sah persaksiannya, kemudian ia memberi khabar pada orang lain yang juga di nilai sah persaksiannya, kemudian orang kedua ini lapor kepada hakim, dan ia pun bersaksi di hadapan hakim ini atas kesaksian orang pertama tadi, maka hakim mempunyai hak menerima kesaksiannya.
Yang sama dengan orang yang adil ialah oaring yang tidak di kenal keadaannya. Demikian ketentuan hukum yang lebih benar. Dan hukumnya wajib bagi orang yang melihat bulan yang termasuk orang  yang di anggap sah persaksiannya agar mempersaksikan hal tersebut pada malam itu di hadapan hakim. Begitulah jika ia berada di kota. Bila ia hidup di desa, maka ia berkewajiban mempersaksikan hal itu di hadapan umat manusia di masjid, meskipun yang melihat bilal tadi seoarang wanita pingitan. Dalam hal ini orang yang melihat bulan dan orang yang membenarkannya berkewajiban berpuasa, walaupun persaksiannya di tolak oleh hakim hanya saja bila mereka berdua membatalkan puasanya dalam kondisi persaksiannya di tolak, maka mereka berkewajiban mengqodho’ puasa namun tidak membayar kafarat.

2)      Madzhab syafi’I (Asy Syafi’iyah)
Ulama’ madzhab syafi’i menjelasakan : bulan ramadhan di tetapkan dengan ru’yatul hilal (melihat bulan baru) yang di lakukan oleh orang yang adil, meskipun keadilannya tidak di ketahui secara jelas. Baik keadaan cuaca di langit terang, atau terdapat sesuatu yang menjadikan ru’yat menjadi sulit. Orang yang menyaksikan hilal di syaratkan hendaknya seorang muslim yang berakal sehat, dewasa, merdeka, laki-laki adil walaupun secara lahirnya. Ia hendaknya dalam persaksian mengucapkan saya bersaksi .
Orang yang dapat melihat bulan dengan nyata ia berkewajiban berpuasa ramadhan, walaupun ia tidak bersaksi di hadapan hakim, atau bersaksi tetapi di tolak persaksiannya. Begitu pula orang yang membenarkannya ia berkewajiban berpuasa meskipun yang melihat bulan baru tersebut anak kecil atau seorang wanita, atau budak, atau orang fasik, atau orang kafir.
3)      Madzhab maliki ( Al Malikiyah)
Menurut ulama’ madzhab maliki ru’yatul hilal (bulan baru) ada tiga macam cara, yaitu:
a.       Hendak nya bulan baru (hilal) di lihat oleh dua orang yang adil. Yang di maksud adil ialah orang laki-laki yang merdeka yang sudah dewasa, berakal sehat yang terlepas dari dosa besar, atau terlepas dari dosa kecil, atau tidak melakukan hal-hal yang mencelakakan kepribadian.
b.      Hendaknya hilal di lihat oleh sekelompok orang yang banyak yang khabarnya menimbulkan pengertian yang yakin dan bisa di jamin kedustaan mereka, artinya bahwa mereka tak mungkin bersepakat untuk berdusta. Namun mereka itu tidak di syaratkan hendaknya mereka semuanya laki-laki, merdeka, dan adil.
c.       Hendaknya hilal di lihat oleh seorang. Namun ru’yat seorang ini tidak bisa di jadikan penetapan kecuali untuk dirinya sendiri atau untuk yang di beri khabar, jika orang ini tidak mempunyai perhatian terhadap masalah hilal.

4)      Madzhab hambali (Al Hanabilah)
Ulama’ hambali menerangkan : dalam melihat bulan baru atau hilal ramadhan haruslah dari pemberitaan orang dewasa yang adil lahir dan batin jadi ruyat tidak bisa di tetapkan berdasarkan penglihatan anak kecil yang sudah pandai (mumayiz), dan tidak bisa di tetapkan juga dengan penglihatan orang yang tidak di ketahui keadaannya. Mengenai orang yang adil dalam hal ini tidak ada bedanya antara laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. Pemberitaan tersebut tidak di syaratkan dengan ucapan : saya bersaksi. Jadi wajiblah berpuasa bagi orang yang telah mendengar orang yang adil memberitahukan tentang ru’yatul hilal atau melihat bulan baru untuk ramadhan, meskipun pihak hakim menolak khabar beritanya karena ia tidak mengerti keadaan orang tadi. Begitu pula orang yang melihat hilal tidak berkewajiban datang pada hakim, dan juga tidak wajib datang di masjid, dan demikian halnya ia tidak berkewajiban memberi khabar kepada umat manusia.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kaum muslimin diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan yakni menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya sejak terbit fajar pagi hingga terbenam matahari. Melaksanakan puasa Ramadhan dapat melatih kesabaran karena bisa mengendalikan diri, menimbulkan sikap jujur, dan berakhlak baik tanpa pengawasan orang lain. Maka jadikanlah bulan suci Ramadhan ini sebagai bulan untuk berprestasi seperti halnya Rasulullah saw. Para sahabat dan orang-orang saleh sebagai bulan untuk berprestasi kepada Allah.
Jangan sia-siakan kesempatan terbaik ini karena kita tahu kapan kita akan dipanggil oleh Allah Swt. Bulan Ramadhan merupakan hadiah besar yang langsung di berikan Allah. Bagi umat islam sebagai sarana penyucian diri, insyallah orang termalangpun bisa sukses apabila melaksanakan puasa dengan baik dan benar.
Begitu pula dengan Ru’yah (melihat bulan baru) dan Hisab (perhitungan) bahwasannya terdapat banyak perbedaan pendapat dari kalangan para ulama’ yaitu, pendapat Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam Hanafi. Dan banyak lagi pendapat ulama’-ulama’ lainnya  Oleh karena itu segeralah mengejar ilmunya dan amalkan dengan sungguh-sungguh.
B.     Saran
Memaknai puasa tidak saja sekedar pengertian harfiah saja tetapi lebih pada kandungan falsafah yang ada di dalamnya. Dan juga mengenai puasa ramadhan tidak hanya menurut tanggal dan bulan saja tetapi dengan cara Ru’yatul Hilal (melihat bulan baru) dan Hisab (perhitungan). 



DAFTAR PUSTAKA

IAIN JAKARTA. 1983. Ilmu Fiqih Jilid 1, Jakarta: Asona
Zuhri, Mohammad. 1994. Fiqih Empat  Madzhab Bagian Ibadah, Semarang: CV. Asy Syifa’
Rusyd, Ibnu. 1990. Terjemah Bidayatu’l Mujtahid, Semarang: CV. Asy Syifa’
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo
Rifa’i, Mohammad. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: CV. Toha Putra





[1] H. Sulaiman Rasjid,  Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2010), hal.220
[2] Drs.H.Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : CV. Toha Putra, 1978), hal.322
[3] IAIN Jakarta,  Ilmu Fiqih Jilid 1, (Jakarta : Asona, 1983), hal.297
[4] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid,  (Semarang : CV. Asyifa’, 1990),  hal.586-587
[5] H. Sulaiman Rasjid,  Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2010), hal.221
[6] IAIN Jakarta,  Ilmu Fiqih Jilid 1,  (Jakarta : Asona, 1983), hal.298
[7] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr Yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Quran.
[8] Yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama fa'i. pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas dalam surat al-Hasyr
[9] Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.
[10] Yang dimaksud dengan apa Ialah: ayat-ayat Al-Quran, Malaikat dan pertolongan.
[11] Furqaan Ialah: pemisah antara yang hak dan yang batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu hari bertemunya dua pasukan di peprangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. sebagian mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al Quranul Kariem pada malam 17 Ramadhan.

[13] I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
[14] IAIN Jakarta,  Ilmu Fiqih Jilid 1,  (Jakarta : Asona, 1983), hal.300
[15] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.
[16] Moh. Zuhri, Fiqih Empat Madzhab Bagian Ibadah(Semarang : CV. Asyifa’, 1994),  hal. 374-377

No comments:

cari judul makalah