KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Ilahi Rabbi yang telah
memberikan rahmat dan karunianya solawat serta salam semoga tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Yang telah memberi kita jalan yang lurus yaitu Ad Dinul Islam. Dalam mata kuliah Fiqih kami mendapatkan tugas makalah dari Bapak Ahmadiono, M.EI, yang bertema PUASA dan Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan. Tentunya kami mengucapkan terima kasih kepada dosen kami yaitu Bapak Ahmadiono M.EI yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Fiqih karena tanpa bimbingan beliau kami akan kesulitan dalam tugas ini dan kami juga berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Yang telah memberi kita jalan yang lurus yaitu Ad Dinul Islam. Dalam mata kuliah Fiqih kami mendapatkan tugas makalah dari Bapak Ahmadiono, M.EI, yang bertema PUASA dan Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan. Tentunya kami mengucapkan terima kasih kepada dosen kami yaitu Bapak Ahmadiono M.EI yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Fiqih karena tanpa bimbingan beliau kami akan kesulitan dalam tugas ini dan kami juga berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini tidak
sedikit hambatan yang ditemukan selama pengerjaan makalah ini, walaupun begitu
kiranya masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini baik dalam hal
isi, sistematika maupun teknik penulisannya. Sehingga peran serta semua pihak
dalam hal kritik dan saran membangun sangatlah kami butuhkan untuk bisa membuat
makalah yang lebih baik di waktu mendatang. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca dan dapat membantu semua
pihak dalam menambah pengetahuan dan wawasannya.
Jember,
Maret 2013
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puasa
merupakan salah satu dari rukun islam yang ke tiga. kita sebagai umat muslim
wajib menjalankan puasa yang telah di tentukan. Konsepsi puasa dalam pemaknaan
istilah seringkali dimaknai dalam pengertian sempit sebagai suatu prosesi
menahan lapar dan haus serta yang membatalkan puasa yang dilakukan pada bulan
ramadhan. Padahal hakekat puasa yang sebenarnya adalah menahan diri untuk melakukan
perbuatan yang dilarang oleh agama.
Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim terhadap umat lain yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks ini, interaksi sosial dapat digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang dampaknya akan memberikan kemungkinan adanya tenggang rasa antar umat manusia.
Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim terhadap umat lain yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks ini, interaksi sosial dapat digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang dampaknya akan memberikan kemungkinan adanya tenggang rasa antar umat manusia.
Seperti puasa Ramadhan yang mana Ramadhan merupakan bulan dimana
kita harus dapat mengendalikan diri kita, hal yang utama yang
harus kita lakukan dalam pelaksanaan puasa ramadhan adalah kita harus menjadi
penguasa dan raja bagi diri kita sendiri kita harus benar-benar mengendalikan
menurut aturan Illahi yang berlaku. Kalau berbicara harus kita kendalikan
demikian juga dengan mata semuanya harus kita kendalikan dengan baik. Pada
bulan Ramadhan ini kita harus seperti kepongpong masuk seperti ulat berbulu
yang ditakuti dan menjijikan dan keluar sebagai kupu-kupu yang indah yang
begitu disenangi banyak orang, yang dapat kita artikan sebusuk dan sekotor
apapun diri kita ,setelah menjalankan ibadah puasa ini kita harus menjadi orang
yang memiliki kepribadian yang indah dan bermanfaat bagi dirikita sendiri dan
orang lain. Di bulan suci Ramadhan inilah kesempatan yang baik untuk megembleng
diri agar menjadi terindah dan terbaik
sebagai jalan untuk meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
- Apa
pengertian puasa ?
- Apa
pengertian puasa Ramadhan dan kejadian-kejadian yang terjadi di bulan
Ramadhan ?
- Apa pengertian Ru’yahtul Hilal dan Hisab ?
- Bagaimana
pendapat ulama’ tentang Ru’yatul Hilal dan Hisab ?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk Memahami tentang puasa.
b. Untuk memahami tentang puasa Ramadhan
dan mengetahui kejadian-kejadian di bulan Ramadhan.
c. Untuk memahami pengertian Ru’yatul Hilal
dan Hisab.
d. Untuk mengatahui pendapat Ulama’ tentang
Ru’yatul Hilal dan Hisab dalam menentukan puasa Ramadhan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PUASA
Puasa (Saumu), menurut bahasa ialah ”menahan dari
segala sesuatu” seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang
tidak bermanfaat dan sebagainya.[1]
Menurut istilah agama Islam yaitu
“menahan diri dari segala sesuatu
yag membatalkan, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam
matahari dengan di sertai niat semata-mata karena Allah
dan beberapa
syarat-syarat tertentu”.[2]
Firman
Allah swt.
Artinya :
“Makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.”(Al-Baqoroh:187)
Sabda
Rasulullah Saw.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِذَا اَقْبَلَ اللَّيْلُ وَادْبَرَ النَّهَارُ
وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ. رواه البخارى و مسلم
Artinya :
Dari
ibnu Umar. Ia berkata, “saya telah mendengar Nabi besar saw. bersabda, ‘Apabila
malam datang, siang lenyap, dan matahari telah terbenam, maka sesengguhnya
telah datang waktu berbuka bagi orang yang puasa’.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)
B. PUASA RAMADHAN
1. Ramadhan terpilih sebagai bulan puasa
Puasa
ramadhan sebagai salah satu jenis puasa wajib seperti yang telah di uraikan
pada bagian terdahulu, merupakan puasa pokok dan paling utama di bandingkan
dengan puasa-puasa wajib lainnya. Puasa ramadhan adalah puasa yang diwajibkan
oleh Allah SWT pada bulan ramadhan selama sebulan penuh. Bulan ramadhan di
pilih oleh Allah SWT sebagai bulan di wajibkannya puasa, bukannya karena bulan
ramadhan lebih istimewa atau lebih tinggi statusnya dari bulan-bulan qamariyah
lainnya. Semua bulan tersebut kedudukan dan statusnya adalah sama. [3]
Puasa bulan Ramadhan itu merupakan salah satu dari rukun
islam yang lima, diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun kedua sesudah
Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah. Hukumnya fardu
‘ain atas tiap-tiap
mukallaf baligh dan berakal).
Puasa ramadhan di wajibkan
berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.[4]
Dalil al-qur’an ialah firman Allah : al-baqarah ayat 183,
Artinya
:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”. (QS. Al-Baqarah:183)
Dalil as-Sunnah
terdapat dalam sabda nabi saw : islam didirikan atas lima perkara …, di antaranya disebutkan
tentang puasa. Dan sabdanya kepada seorang
A’robi :
وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا
قَالَ لَا اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ.
Artinya :
“… dan puasa bulan
ramadhan. Berkata A’rabi, “ apakah ada
kewajiban lain atasku?” jawab rasul, “tidak, kecuali jika engkau hendak
bersukarela (tathawwu’).”
Dalil ijma’ adalah
tidak di riwayatkan adanya penentangan dari seorang imam pun tentang wajibnya
puasa yang sampai kepada kita. Mengenai kepada siapakah puasa di wajibkan, maka
tidak ada pilihan lagi bahwa ia diwajibkan atas orang dewasa, berakal, tidak
bepergian sehat dan tidak ada sifat yang menghalangi berpuasa yaitu haid bagi
wanita. Hal ini tidak di perselisihkan lagi berdasarkan firman allah: surat al-baqarah ayat 185,
Artinya :
“(Beberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu,
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah:185)
Rasulullah
Saw.telah mengajarkan puasa sembilan kali Ramadan, delapan kali 29 hari, satu
kali pas 30 hari. Beliau bekata dalam hadis Bukhari, “Bulan itu kadang-kadang
30 hari, kadang kadang 29 hari.”
Puasa
Ramadan diwajibkan atas tiap-tiap orang mukallaf dengan salah satu dari
ketentuan-ketentuan berikut ini:[5]
1. Dengan meliht bulan bagi yang yang
melihatnya sendiri.
2. Dengan mencukupkan bulan Sya’ban tiga
pulah hari, maksudnya bulan tanggal Sya’ban itu dilihat. Tetapi kalau bulan
tanggal satu Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan
hitungan, sempurnanya tiga puluh hari.
3. Dengan adanya melihat (ru-yat) yang di perselisihkan oleh
seorang yang adil di muka hakim.
4. Dengan kabar mutawattir, yaitu kabar orang
banyak, sehingga mustahil mereka akan dapat sepakat berdusta atau sekata atau
kabar yang dusta.
5. Percaya kepada orang yang melihat.
6. Tanda-tanda yang bisa dilakukan di
kota-kota besar untuk memberitahukan kepada orang banyak (umum), seperti lampu,
meriam, dan sebagainya.
7. Dengan ilmu hisab atau kabar dari ahli
hisab (ilmu bintang).
Terpilihnya
ramadhan sebagai saat di wajibkannya puasa, bukanlah karena status atau
kedudukannya yang lebih tinggi dari bulan-bulan lainnya, tetapi adalah karena
pada bulan ramdhan tersebut banyak kejadian-kejadian penting yang berpengaruh
besar terhadap pembinaan kehidupan umat manusia ini.[6]
Kejadian-kejadian
tersebut adalah :
a. Turunnya Al-Qur’an
Wahyu
pertama diturunkan Allah SWT kepada rasulullah SAW melalui malaikat Jibril pada
bulan Ramadhan. Wahyu
pertama ini (Al-Qur’an) merupakan titik tolak yang mendasar dalam menggerakkan
perkembangan rohaniah terbesar serta melahirkan suatu umat baru (umat islam).
Al-Qur’an pulalah yang telah mengangkat kembali derajat manusia dari lembah
kenistaan dan kejumudan dengan anjurannya untuk menggunakan akal fikiran dalam
menghadapi dan mengamati alam semesta ini. Al-Qur’an mengumandangkan ajaran
tauhid dan menyuruh manusia untuk melepaskan diri dari belenggu berhala atau
sembahan-sembahan lainnya. Dan masih banyak lagi hikmat dan pedoman yang harus
di petik manusia dari Al-Qur’an.
b. Lailatul Qadar
Lailatul
Qadar sebagai suatu malam yang penuh dengan kemuliaan dan keutamaan jatuhnya
pada bulan ramadhan, dalam berbagai hadits disebutkan bahwa Lailatul Qadar itu
terdapat pada salah satu dari sepuluh malam terakhir bulan ramadhan.
Lailatul
Qadar dengan keutamaannya lebih baik dari seribu bulan, merupakan tumpuan
keinginan bagi umat islam untuk dapat menikmatinya.
Firman
Allah SWT :
Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.[7] Dan tahukah kamu
Apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.”
(QS. Al-Qadar:1-3)
c.
Kemenangan besar Muhammad Rasulullah SAW.
Bulan Ramadhan merupakan bulan kemenangan Rasulullah SAW
beserta pengikutnya terhadap kaum kafir Quraisy.
Seperti :
1).
Kemenangan dalam perang Badar yang di kenal sebagai Hari Furqan atau hari
pemisah antara yang benar (islam) dengan yang bathil (kafir Quraisy) seperti
firman Allah SWT :
Artinya :
“Ketahuilah,
Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[8], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat
rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[9], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[10] yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan[11], Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”[12]
(QS. 41)
Hari
Furqon tersebut jatuhnya pada tanggal 17 Ramadhan (Jum’at) tahun kedua Hijriah.
2).
Jatuhnya kota
Makkah dari tangan kafir Quraisy kepada umat islam pada bulan Ramdhan.
2. Waktu puasa Ramadhan
Jangka
waktu pelaksanaan puasa Ramadhan adalah sebulan penuh yaitu selama bulan
Ramadhan yang berkisar antara 29 atau 30 hari. Waktu puasa dimulai dari terbit
fajar sampai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :
“Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf[13]
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.”
C. RU’YAH DAN HISAB
Ru’yah
dan Hisab adalah dua istilah yang popular dikalangan umat islam sebagai cara
untuk menetapkan waktu permulaan puasa. Sebenarnya kedua istilah tersebut
bukanlah kegunaannya hanya untuk menetapkan waktu permulaan puasa, tetapi juga
untuk menetapkan idul fitri, idul adha, menetapkan awal bulan tiap bulan
Qomariyah serta juga untuk menetapkan waktu sholat. Lebih dari itu hisab di
gunakan pula untuk menetapkan arah kiblat.
Masuknya
bulan Ramadhan dan tanggal mulainya idul fitri sebagaimana yang umum di kenal,
masyarakat islam di tentukan oleh Ru’yah dan Hisab.[14]
Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapakan awal bulan
Qamariyah (Ramadhan) dengan jalan melihat dengan panca indra mata timbulnya
atau munculnya bulan sabit dan bila udara mendung atau cuaca buruk sehingga
bulan tidak dapat dilihat maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan
bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).
Hisab
adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariah (Ramadhan) dengan jalan
menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat di tentukan
secara eksak letak bulan, dengan demikian di ketahui pula awal bulan Qamariyah
tersebut.
Perbedaan
Dua jenis perhitungan tersebut terletak dalam memandang dan memahami serta menafsirkan
ayat Al-Qur’an dan Hadits seputar masalah Ru’yah dan Hisab. Ayat-ayat Qur’an
dan Hadits tersebut adalah :
Artinya :
“Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan
dengan hak[15].
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Dari dua jenis pendapat tersebut (Ru’yah dan Hisab) ada
baiknya di catat pendapat Prof. T.M. Hasbi Ash-Sidieqy dalam bukunya pedoman
Ibadah Puasa boleh mempergunakan salah satu dari dua tersebut, baik sistim
Hisab Ataupun Ru’yah.
1) Ulama’ madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
Menerangkan
apabila cuaca di langit bebas dari penghalang
ru’yatul hilal (melihat bulan), maka haruslah bisa di lihat oleh
sekelompok manusia yang cukup banyak yang dari khabar yang di sampaikan oleh
mereka tumbuh pengertian. Ukuran banyak dalam hal ini di serahkan kepada imam
(kepala Negara) atau wakilnya. Jadi tidak mesti dalam hal tersebut jumlah yang
di tentukan. Demikian ketentuan hukum yang kuat. Dalam beberapa saksi pada
ru’yat ini di syaratkan hendaknya mereka menyebutkan ucapan “Asyhadu
(saya bersaksi)”.
Apabila
cuaca di langit tidak bebas dari beberapa hal yang menghalangi tersebut, namun
ada seseorang yang menyampaikan khabar bahwasannya dia melihat bulan baru atau hilang, maka
di nilai cukuplah kesaksiannya itu apabila ia seorang muslim yang adil, berakal
sehat dan sudah dewasa. Baginya tidak di syaratkan mengucapkan perkataan saya
bersaksi sebagaimana halnya tidak di syaratkan
penetapan hukum dan tidak juga penetapan majelis peradilan.
Apabila
cuaca di langit terdapat penghalang, maka tidak wajib bagi sekelompok kaum
muslimin melihat bulan. Sebab sulitnya melihat bulan ketika itu. Tentang
masalah saksi, maka tak ada bedanya antara saksi perempuan dan laki-laki,
merdeka atau budak. Jika ada seseorang melihat hilal sedangkan dia tergolong
orang yang di anggap sah persaksiannya, kemudian ia memberi khabar pada orang
lain yang juga di nilai sah persaksiannya, kemudian orang kedua ini lapor
kepada hakim, dan ia pun bersaksi di hadapan hakim ini atas kesaksian orang
pertama tadi, maka hakim mempunyai hak menerima kesaksiannya.
Yang
sama dengan orang yang adil ialah oaring yang tidak di kenal keadaannya.
Demikian ketentuan hukum yang lebih benar. Dan hukumnya wajib bagi orang yang melihat bulan
yang termasuk orang yang di anggap sah
persaksiannya agar mempersaksikan hal tersebut pada malam itu di hadapan hakim. Begitulah
jika ia berada di kota .
Bila ia hidup di desa, maka ia berkewajiban mempersaksikan hal itu di hadapan
umat manusia di masjid, meskipun yang melihat bilal tadi seoarang wanita
pingitan. Dalam hal ini orang yang melihat bulan dan orang yang membenarkannya
berkewajiban berpuasa, walaupun persaksiannya di tolak oleh hakim hanya saja
bila mereka berdua membatalkan puasanya dalam kondisi persaksiannya di tolak,
maka mereka berkewajiban mengqodho’
puasa namun tidak membayar kafarat.
2) Madzhab syafi’I (Asy Syafi’iyah)
Ulama’
madzhab syafi’i menjelasakan : bulan ramadhan di tetapkan dengan ru’yatul hilal
(melihat bulan baru) yang di lakukan oleh orang yang adil, meskipun keadilannya
tidak di ketahui secara jelas. Baik keadaan cuaca di langit terang, atau
terdapat sesuatu yang menjadikan ru’yat menjadi sulit. Orang yang menyaksikan
hilal di syaratkan hendaknya seorang muslim yang berakal sehat, dewasa,
merdeka, laki-laki adil walaupun secara lahirnya. Ia hendaknya dalam persaksian
mengucapkan saya bersaksi .
Orang
yang dapat melihat bulan dengan nyata ia berkewajiban berpuasa ramadhan,
walaupun ia tidak bersaksi di hadapan hakim, atau bersaksi tetapi di tolak
persaksiannya. Begitu pula orang yang membenarkannya ia berkewajiban berpuasa
meskipun yang melihat bulan baru tersebut anak kecil atau seorang wanita, atau
budak, atau orang fasik, atau orang kafir.
3) Madzhab maliki ( Al Malikiyah)
Menurut
ulama’ madzhab maliki ru’yatul hilal (bulan baru) ada tiga macam cara, yaitu:
a. Hendak nya bulan baru (hilal) di lihat
oleh dua orang yang adil. Yang di maksud adil ialah orang laki-laki yang
merdeka yang sudah dewasa, berakal sehat yang terlepas dari dosa besar, atau
terlepas dari dosa kecil, atau tidak melakukan hal-hal yang mencelakakan
kepribadian.
b. Hendaknya hilal di lihat oleh sekelompok
orang yang banyak yang khabarnya menimbulkan pengertian yang yakin dan bisa di
jamin kedustaan mereka, artinya bahwa mereka tak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Namun mereka itu tidak di syaratkan hendaknya mereka semuanya
laki-laki, merdeka, dan adil.
c. Hendaknya hilal di lihat oleh seorang.
Namun ru’yat seorang ini tidak bisa di jadikan penetapan kecuali untuk dirinya
sendiri atau untuk yang di beri khabar, jika orang ini tidak mempunyai
perhatian terhadap masalah hilal.
4) Madzhab hambali (Al Hanabilah)
Ulama’
hambali menerangkan : dalam melihat bulan baru atau hilal ramadhan haruslah
dari pemberitaan orang dewasa yang adil lahir dan batin jadi ru’yat tidak bisa di tetapkan
berdasarkan penglihatan anak kecil yang sudah pandai (mumayiz), dan tidak bisa
di tetapkan juga dengan penglihatan orang yang tidak di ketahui keadaannya.
Mengenai orang yang adil dalam hal ini tidak ada bedanya antara laki-laki atau
perempuan, merdeka atau budak. Pemberitaan tersebut tidak di syaratkan dengan
ucapan : saya bersaksi. Jadi wajiblah berpuasa bagi orang yang telah mendengar
orang yang adil memberitahukan tentang ru’yatul hilal atau melihat bulan baru
untuk ramadhan, meskipun pihak hakim menolak khabar beritanya karena ia tidak
mengerti keadaan orang tadi. Begitu pula orang yang melihat hilal tidak
berkewajiban datang pada hakim, dan juga tidak wajib datang di masjid, dan
demikian halnya ia tidak berkewajiban memberi khabar kepada umat manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kaum muslimin diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan yakni
menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya sejak terbit fajar pagi
hingga terbenam matahari. Melaksanakan puasa Ramadhan dapat melatih kesabaran
karena bisa mengendalikan diri, menimbulkan sikap jujur, dan berakhlak baik
tanpa pengawasan orang lain. Maka jadikanlah bulan suci Ramadhan ini sebagai
bulan untuk berprestasi seperti halnya Rasulullah saw. Para sahabat dan
orang-orang saleh sebagai bulan untuk berprestasi kepada Allah.
Jangan sia-siakan kesempatan terbaik ini karena kita tahu
kapan kita akan dipanggil oleh Allah Swt. Bulan Ramadhan merupakan hadiah besar
yang langsung di berikan Allah. Bagi umat islam sebagai sarana penyucian diri,
insyallah orang termalangpun bisa sukses apabila melaksanakan puasa dengan baik
dan benar.
Begitu pula dengan Ru’yah (melihat bulan baru) dan Hisab
(perhitungan) bahwasannya terdapat banyak perbedaan pendapat dari kalangan para
ulama’ yaitu, pendapat Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam
Hanafi. Dan banyak lagi pendapat ulama’-ulama’ lainnya Oleh karena itu segeralah mengejar ilmunya
dan amalkan dengan sungguh-sungguh.
B.
Saran
Memaknai puasa tidak saja sekedar pengertian harfiah saja
tetapi lebih pada kandungan falsafah yang ada di dalamnya. Dan juga mengenai
puasa ramadhan tidak hanya menurut tanggal dan bulan saja tetapi dengan cara
Ru’yatul Hilal (melihat bulan baru) dan Hisab (perhitungan).
DAFTAR PUSTAKA
IAIN
JAKARTA. 1983. Ilmu Fiqih Jilid 1, Jakarta: Asona
Zuhri,
Mohammad. 1994. Fiqih Empat Madzhab
Bagian Ibadah, Semarang: CV. Asy Syifa’
Rusyd,
Ibnu. 1990. Terjemah Bidayatu’l Mujtahid, Semarang: CV. Asy Syifa’
Rasjid,
Sulaiman. 2010. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo
Rifa’i,
Mohammad. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: CV. Toha Putra
[7] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan
malam Lailatul Qadr Yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena
pada malam itu permulaan turunnya Al Quran.
[8] Yang dimaksud
dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang
kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan
pertempuran dinama fa'i. pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah
saja. Fa'i dibahas dalam surat
al-Hasyr
[9] Maksudnya: seperlima
dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul
(Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil.
sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.
[11] Furqaan Ialah:
pemisah antara yang hak dan yang batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan
ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu
hari bertemunya dua pasukan di peprangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan
tahun ke 2 Hijriah. sebagian mufassirin berpendapat bahwa ayat ini
mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al Quranul Kariem pada malam 17
Ramadhan.
[15] Maksudnya: Allah
menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan
penuh hikmah.
No comments:
Post a Comment