BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada
hakikatnya, pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang
dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi.
Pemikiran kaum muslim ini sudah
tentu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberikan pengarahan, kearah mana pemikiran tersebut harus dikembangkan. Meskipun ditemui keragaman pemikiran dikalangan muslimin.
tentu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberikan pengarahan, kearah mana pemikiran tersebut harus dikembangkan. Meskipun ditemui keragaman pemikiran dikalangan muslimin.
Keragaman
pemikiran itu disebabkan oleh perbedaan persepsi antar kelompok-kelompok umat
dan perbedaan interpretasi tentang suatu ayat atau hadis. Namun Keragaman
pemikiran itu tidak perlu mejadi penghalang bagi pertumbuhan masyarakat, bahkan
bila dihadapi dan dikelola secara bijak, keragaman pemikiran itu justru akan
menimbulkan kesegaran. Secara objektif, pemikiran yang tidak tahan bantingan
akan dengan sendirinya masuk ke kota sejarah, sedangkan pemikiran yang lebih
kokoh dan benar akan terus bertahan melayani umat dan masyarakat.
Muhammadiyah
adalah sebuah organisasi kemasyakatan Islam tertua di Indonesia. Sebagai
organisasi kemasyarakatan, ia mengurus berbagai usaha pelayanan masyarakat
seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, panti asuhan, penyuluhan, kebajikan
dan lain-lain yang jumlahnya semakin bertambah setiap tahun. Ia juga mempunyai
berbagai organisasi otonom, majelis dan lain-lain terikat dengan cita-cita
Muhammadiyah.
Muhammadiyah,
melalui majelis tarjihnya, telah berusaha untuk mengikuti perkembangan pemikiran
keislaman dan sekaligus memberikan tanggapannya. Muhammadiyah berkeyakinan
bahwa sumber ajaran Islam hanya al-Qur’an dan Sunnah.Artinya bahwa segala
persoalan yang muncul saat ini harus dikembalikan pada kedua sumber
tersebut.Tentu penalaran yang cerdas tidak dapat diabaikan, terutama dalam
memahami dan menyelesaikan masalah yang baru dan tidak terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah.
Berkaitan
dengan hal tersebut, maka ijtihad memegang peranan yang strategis dan penting
dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum kontemporer.Namun demikian menurut Muhammadiyah,
ijtihad tidak lebih dari sekedar metode untuk memahami isi dan kandungan
al-Qur’an dan al-Sunnah.Karena itu, Mujtahid hanyalah sebagai pengungkap hukum
(kasyf al-hukum), tidak sebagai penetap hukum (munsyi’ al-hukm).
Muhammadiyah
sering disebut sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada tajdid.Bagi
organisasi ini,tajdid dapat berarti reformasi dan dapat pula berarti
modernisasi.Tajdid dalam arti yang pertama, kelihatannya sudah banyak dilakukan
oleh organisasi sosial keagamaan ini.Untuk menyelesaikan masalah-masalah fiqhi
kontemporer, yang merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
tehnologi, organisasi ini berpendapat bahwa peranan akal manusia menjadi
penting artinya dalam memahami ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an
dan Hadis.Karena itu bagi Muhammadiyah ijtihad bukan saja perlu, namun juga
harus dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.
B.
Permasalahan
Berangkat
dari latar belakang di atas, permasalahan yang penting untuk dikemukakan dalam
kajian ini adalah; bagaimana metode ijtihad Majelis Tarih Muhammadiyah? Dengan
sub masalah sebagai berikut:
- Apa
dan Bagaimana Ijtihad itu?
- Bagaimanakah
pokok – pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah ?
- Bagaimana
hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah?
- Bagaimana
metode ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Menurut bahasa,
ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan
kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran
disebutkan:“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
Artinya: “… Dan
(mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd
beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih
dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah
Nabi mengungkapkan kata-kata:“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddu’a’”
artinya:”Bacalah
salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan
kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit.”Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad”
dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian
ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut
istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang
karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain
ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan
batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan
sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat
itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang
terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang
terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan
pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh
(ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan
rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka,
ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau
mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum
syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang
ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad
adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang
dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
- Tujuan
ijtihad
untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di
suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
- Fungsi
Ijtihad
Meski Al Quran
sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam
kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain
itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
- Jenis-jenis
Ijtihad
1.
Ijma’
Yaitu
kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hokum-hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad
untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat. Bentuk ijtihad ini didasarkan pada hadist Nabi SAW : “Ummatku
tidak akan bersepakat dalam kesesatan.” Ijma yang dihasilkan haruslah
didasarkan pada hadist dan Al-quran yang diterima. Ijma ‟ adapula yang
merupakan kesepakatan para sahabat Nabi yang disebut ijma’
Shahabat yang dianggap sebagai sumber hukum
Islam ketiga setelah Al-qur‟an
dan Assunah seperti mendirikan bagi masyarakat islam dan mengangkat pemimpin
(khalifah) bagi ummat.
2.
Qiyas
Secara bahasa
artinya ialah analogi, secara istilah ialah Ushul Fikih yang berarti menetapkan
suatu hukum “baru” yang belum ada nash - nya dengan hukum “ yang sudah ada”
nashnya. Nash menurut bahasa adalah rof‟u assyari‟ atau munculnya segalasesuatu yang
tampak. Sedangkan menurut syara‟adalah
: Suatu lafadz yang maknanya lebih jelas Dari definisi-definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan
tersebut tidak diambil dari kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara
sendiri yang diketahui Muhammad Adib Salih berkesimpulan bhawa yang dimaksud
Nash adalah: Lafaz yang menunjukan hokum dengan jelas yang diambil menurut alur
pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan. Disini Nash lebih memberi
kejelasanmaknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa. Adapun
Kedudukan (hukum) lafadz nash yaitu wajib diamalkan sepanjang tidak ada dalil
yang menakwilkan (menentukan beberapa maknayang mungkin terkandung di dalam
ayat al-Quran yang mempunyai berbagai makna) Qiyas menggabungkan atau
menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum
ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam
Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Beberapa
definisi qiyâs (analogi)
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju
kepada cabangnya, berdasarkan titik
persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang
definitif lainnya, melalui suatu
persamaan di
antaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada
penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (ilat ).karena adanya persamaan‘illat hukum (maksud dan tujuan
hukum) dari peristiwa tersebut.
Contohnya hukum
menempeleng orang tua, itu belum ada nash-nya. Nash yang sudah
ada adalah mengatakan “Ah” seperti
yang tercantum pada Q.S Al-Isra/17:23.„
illat hukum atau yang disebut juga
sebab dan tujuan seperti yang disebutkan tadi larangan mengatakan ahh dan
membentak orang tua karena akan menyakiti hati orang tua.Qiyas pertama kali
digunakan secara luas oleh Imam Hanafi. Tetapi berdasarkan luas danterbatasnya
qiyas secara berturut - turut digunakan oleh Imam Syafi‟I, Imam Maliki dan
yang paling terbatas adalah Imam
Hambali. Adapun Imam Ja‟fari
menolak penggunaan metodologi ini karena menurut Ia masalah agama tidak dapat
digeneralisasikan.
3.
Istihsan
Merupakan
perluasan dari qiyas. Jadi istihsan adalah meninggalkan qiyas jalli (qiyas
nyata) untuk menjalankan qiyas khafi (qiyas samar), atau meninggalkan hokum
kulli(hokum umum) untuk menjalankan hokum istisna‟I (pengecualian) karena adanya dalil
logika yang membenarkannya. Istihsan juga menetapkan suatu hokum dimana
yangberlainan dengan hasil qiyas karena pertimbangan kepentingan dan
kemaslahatan umat menghindarkan terjadinya kesulitan dan kezaliman.Contohnya
penggunaan ihtihsan dalam jual beli.Islam hanya membenarkan transaksi jual beli
jika barangnya sudah nyata adanya. Pada prakteknya yang disebut salam, ada
diantaranya praktek jual beli dengan dibayar terlebih dahulu tetapi barangnya
dikemudian hari, ini dilarang oleh Islam. Padahal tentu saja maksudnya agar
tidak terjadi kecurangan.Tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi
transaksi bisnis masa kinisemakin cepat berjalan. Pembayaran ini disebut
praktek salam yang merupakan kekecualian dari yang umum terjadi.
4.
Mashalih al-mursalah
Ialah suatu
kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara dan tidak adapula nash-nya, baik
yang memerintah maupun yang melarang. Contohnya dalam menentukan hukuman.Dalam
islam menetapkan hokum qisas dimana jika ada seorang pezina dan penuduh zina
tidak dapat menghadirkan saksi empat orang , atau hokum potong tangan bagi
pencuri. Dalam perkembangan hokum yang terjadi adanya keberagaman tindak pidana
namun tidak tercakup secara tegas dalam syara‟.Kemudian muncullah penjara.Syara‟ itu
sendiritidak memerintahkan ataupun melarang pembuatan penjara.Tapi karena
dilihat kembalipada fungsinya bagi keamanan dan ketertiban masyarakat maka
keberadaan penjara pundipandang maslahat.Sebenarnya mashalih al-mursalah mirip
dengan istihsan yakni mencari kemaslahatan.Bedanya jika istihsan mengambil
qiyas khafi dari qiyash jalli, maka mashalih al-mursalah menetapkan suatu hokum
yang tidak diperintahkan ataupundilarang oleh syara‟.
5.
‘Urf atau adat kebiasaan
‘Urf merupakan adat kebiasaan masyarakat baik
berupa perkataan maupun perbuatan yang
baik, yang karenanya dapat dibenarkan oleh syara‟. Contoh dalam kehidupan sehari
harinya ketika kita belanja di
supermarket kita memilih barang dan membayarnya tanpa
ijab qabul, tetapi sebenarnya
ketika kita membayar ke kasir sudah terjadi ijab qabu;. Ini
dikarenakan hokum kebiasaan (‘urf)
lah yang menetapkan sahnya transaksi demikian.Ada juga ‘urf yang rusak seperti
misalnya praktek riba yang menjadi kebiasaan masyarakat padahal syara‟ nya
mengharamkan hal seperti itu. Adapun syarat-syarat yang memenuhi adat kebiasaan
sebagai dasar penetapan hokum secara islami adalah :
1. Berlaku secara umum di masyarakat atau
kelompok tertentu
2. Adat itu sudah ada saat terjadinya suatu
perkara hokum
3. Tidak bertentangan dengan dalil syara‟ dan prinsip
hokum islam Adapula tambahan dari jenis ijtihad yaitu Sududz Dzariah adalah
tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan
umat. Di Indonesia, ijtihad sering dilakukan secara kolektif (ijtihad jam‟iyah), antara
lain terjadinya dalam forum seperti Forum Bahtsul Masail Diniyah (Nahdhatul Ulama)
dan berbagai majelis dan organisasi agama lainnya.
Pokok-pokok Manhaj
Tarjih Muhammadiyah
- Di
dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Quran dan as-sunnah
as-Sahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illat terhadap hal-hal yang
tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima
ijtihad termasuk qiyas sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada
nashnya secara langsung;
- Dalam
menentukan sesuatu keputusan dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam
menetapkan masalah ijtihad digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan
demikian pendapat perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang
kuat;
- Tidak
mengikatkan diri pada suatu mazhab tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan
jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat;
- Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang
paling benar.Keputusan diambil atas dasar
landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapat ketika
keputusan diambil. Koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat
diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian Majelis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan;
- Di
dalam masalah aqiedah (tawhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang
mutawatir;
- Tidak
menolak ijma’ Shahabat sebagai dasar sesuatu keputusan;
- Terhadap
dalil-dalil yang mengandung ta’arudl digunakan cara al-jam’u wat-tawfieq
da kalau tidak dapat diakukan barudilakukan tarjih;
- Menggunakan
asas sadd adz-dzara’i untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah;
- Menta’lil
dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Quran dan
as-Sunnah sepanjang sesuai dengan kandungan syari’ah. Adapun kaidah
“al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu
dapat berlaku;
- Penggunaan
dalil untuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif,
utuh dan bulat tidak terpisah;
- Dalil-dalil
umum al-Quran dapat diktakhsis hadis Ahad kecuali dalam bidang aqidah;
- Dalam
mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip at-taysir;
- Dalam
bidang ibadah yang ketentuan-ketentuannya dari al-Quran dan as-Sunnah,
pemahamannya dapat dilakukan dengan mnggunakan akal sepanjang diketahui
latarbelakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal besifat
nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki
kelenturan dalam menghadapiperubahan situasi dan kondisi;
- Dalam
hal-hal yang termasuk al-umur ad-dunyawiyyah pengunaan akal sangat
diperlukan demi kemaslahatan ummat;
- Untuk
memahami nash yang musytarak paham Shahabat dapat diterima;
B.
Hakikat Ijtihad Dalam Muhammadiyah
Ijtihad dapat
dilakukan secara individu dan kolektif.Muhammadiyah memilih ijtihad dalam
bentuk yang kedua.Hal ini dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga yang
disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.Majelis Tarjih adalah suatu lembaga
dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum
bidang fiqih.Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII
tahun 1928 di Yokyakarta, dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang
pertama.Tujuan pendirian Majelis ini adalah untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan khilafiyat, kemudian menetapkan pendapat yang terkuat,
untuk diamalkan warga Muhammadiyah.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Majelis Tarjih tidak sekedar mentarjihkan
masalah-masalah khilafiyat, tetapi juga mengarah pada penyelesaian
persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya.Oleh karena itu,
tidak heran kalau banyak anggota Lajnah Tarjih menuntut agar Majelis Tarjih
diubah namanya menjadi Majelis ijtihad.Namun dengan alasan kesejarahan, sampai
saat ini namanya tetap Majelis Tarjih.
Sejak
didirikannya pada tahun 1928 sampai sekarang, tugas Majelis Tarjih telah
mengalami perkembangan dan perubahan. Semula majelis ini hanya membahas dan
memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil
pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh
majelis Tarjih, ketika lembaga ini didirikan, warga Muhammadiyah sendiri akan
mengalami perselisihan yang tajam. Agaknya, Tugas utama Majelis Tarjih pada
awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama
mengenai pelaksanaan ibadah. Hal ini dapat dilihat pada agenda pembahasan
muktamar tarjih pertama tahun 1929 di Solo sampai muktamarnya pada tahun 1953,
hanya membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah mulai dari
masalah bersuci sampai pelaksanaan ibadah haji ditambah pembahasan jenazah dan
waqaf. Pada tahun 1954 dan tahun 1955 membahas sumber ajaran Islam.Kemudian
mulai tahun 1968 sampai sekarang baru dibahas dan ditetapkan hukumnya mengenai
berbagai masalah mu’amalah kontemporer.Disadari bahwa ijtihad dalam berbagai
masalah kontemporer merupakan tugas yang tidak mudah, maka orang yang ikut
serta dalam pembahasan tersebut seharusnya memenuhi kualifikasi ijtihad.
Dalam lapangan
atau ruang lingkup ijtihad, berpendapat bahwa ijtihad, dalam arti menyelesaikan
masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam fiqhi saja.Masalah aqidah
termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan lagi apalagi jika dikaji secara
rasional.Bidang yang terakhir ini oleh Muhammadiyah dimasukan kepada lahan
pemurnian, dan bukan lahan modernisasi.Tentu pendapat ini tidak sepenuhnya
disetujui oleh warga Muhammadiyah, terutama para cendikiawan atau pemikirnya.
Mereka menginginkan ijtihad Muhammadiyah secara menyeluruh, tidak terbatas pada
masalah fiqhi saja.Mereka menginginkan ijtihad muhammadiyah sama seperti
ijtihad Muhammad Abduh. Mengenai hal ini M.Watik Pratiknya berharap agar tajdid
tidak hanya diartikan sebagai purifikasi saja, tetapi harus diartikan juga
sebagai redefinisi dan reformulasi.Baginya masalah-masalah baru harus dipahami
secara integralistik.Adapun rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu
adalah sebagai berikut :
Dari segi bahasa tajdid berarti
pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdid memiliki dua arti, yakni;
a. Pemurnian;
b. Peningkatan, pengembangan,
modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid
dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan
bersumber kepada al-Qur’an dan As Sunnah Ash-Shohihah.
Dalam arti
“peningkatan,pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid
dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan
tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk melakukan
tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal
pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh
ajaran Islam.Menurut perserikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu
watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdid
di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijitihad dapat dilakukan
terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber
utama ajaran islam, al-Qur’an dan hadits; dan terhadap kasus yang terdapat
dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam pembentukannya yang kedua dilakukan
dengan cara menafsirkan kembali Al-Qur’an dan hadist sesuai dengan kondisi
masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya bagi Muhammadiyah akal mempunyai
peranan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadist. Namun kata-kata “yang dijiwai
ajaran Islam” memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami
nash Al-Qur’an dan hadist. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika
pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhahir nash, maka kehendak nash harus
didahulukan dari pada pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip
yang diyakini oleh Muhammad Abduh. Menurut yang disebut terakhir ini, akal
harus didahulukan dari arti zhahir nash, jika terdapat pertentangan diantara
keduanya. Artinya, nash itu harus dicari interprestasinya sehingga sesuai
dengan pemahaman akal.
Untuk memahami
lebih jelas hakikat tajdid dalam Muhammadiyah, perlu diperhatikan pemikiran
tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam pembahasan masalah tajdid
pada forum muktamar tarjih XXII itu.Dari rangkaian pemikiran itu diharapkan
dapat dilihat karakteristik atau hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah.
Amin
Rais, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 1985-1990, pada dasarnya
menerima upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Upaya itu menurutnya, harus tetap
bersumber kepada al-Qur’an dan Hadist.Artinya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist
dapat dipahami sesuai dengan konteks dimana umat Islam itu berada. Tetapi ia
tidak setju kalau “sebuah hukum yang sudah qat’i dalam al-Qur’an disesuaikan
dengan praktek masyarakat modern”. Sementara itu Mukti Ali, dalam prasarannya
di forum muktamar tarjih, menyetujui sepenuhnya upaya kontekstualisasi ajaran
Islam.Ia menyatakan, untuk menghadapi dunia yang serba berubah ini
“teks”al-Qur’an dan Hadist harus dipahami dengan memperhatikan keadaan
disekitarnya, konteks. Itulah yang dimaksud memahami agama Islam secara
kontekstual.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman Muhammadiyah tentang ijtihad bertitik
tolak dari kerangka berpikir, bahwa Islam diyakini sebagai agama wahyu yang
bersifat universal dan eternal.Islam dalam pengertian ini tidak dapat
diubah.Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian ajaran Islam di dunia
yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan situasi
baru.Kelihatannya bagi Muhammadiyah ijtihad memberikan kemungkinan adanya
penyegaran dan penyesuaian Islam pada situasi baru.Dengan ijtihad itulah ajaran
Islam, termasuk bidang hukumnya, dapat diterima umat manusia dimana dan
kapanpun mereka berada.
C.
Metode Ijtihad Muhammadiyah
Kajian ini
difokuskan pada apa yang tertulis dalam manhaj istinbath Majelis Tarjih dan
Himpunan Putusan Tarjih untuk melihat lebih jauh konsistensi Muhammadiyah dalam
menerapkan metode penetapan hukum yang telah digariskan.
Sumber
hukum utama dalam pandangan Muhammadiyah tidak berbeda dengan NU bahkan seluruh
umat Islam dalam berbagai mazhab dan aliran yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah.Artinya al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan
hukum.Sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Tentu
penjelasan dari Sunnah tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskan
al-Qur’an. Karena itu menurut ahli hadis salah satu tolak ukur untuk menyeleksi
hadis adalah harus diuji dengan al-Qur’an.Kalau hadis sejalan dengan al-Qur’an
maka hadis itu dapat diterima.Tetapi jika Hadis itu bertentangan dengan
al-Qur’an, maka, Hadis itu tidak dapat diterima.
Kelihatannya
Muhammadiyah tidak mengembangkan tolak ukur tersebut.Sebagai indikatornya ada
beberapa hadis yang dijadikan putusan tarjih, yang diduga sementara pihak
sebagai tidak sejalan dengan al-Qur’an.Sebagai contoh Hadis tentang hukum
membayar puasa untuk orang yang meninggal dunia dan hukum memakai emas bagi
laki-laki.
Kemudian
untuk menghadapi persoalan-persoalan yang baru, sepanjang tidak berhubungan
dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat dalam nash sharih yaitu al-Qur’an dan
Sunnah, dilakukan denga ijtihad dan isthimbath dari nas yang ada melalui persamaan
‘illat.Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan
merupakan sumber hukum tetapi sebagai metode penetapan hukum dalam Islam.
Muhammadiyah
pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli
ushul fiqhi terdahulu, namun di sana sini terdapat modifikasi atau kombinasi
seperlunya. Ijma yang dibahas dalam ushul fiqhi tidak dalam setiap periode
diterima oleh Muhammadiyah.Organisasi ini hanya menerima konsep ijma yang
terjadi dikalangan sahabat.Hal ini mengisyaratkan bahwa ijma tidak mungkin
terjadi lagi setelah masa sahabat.Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma
karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
Banyak faktor yang menyebabkan tidak
adanya ijma pada masa sekarang.Salah satu diantaranya karena jumlah umat Islam
sekarang ini cukup banyak dan mereka tersebar diberbagai belahan dunia yang
berjauhan.Lebih dari itu menentukan kriteria mujtahid, seperti yang terdapat
dalam defenisi ijma, juga tidak mudah. Belum
lagi adanya perbedaan sekte dan aliran dalam Islam yang pada gilirannya akan
mempesulit proses ijma itu. Bahkan Ibnu Qayyim menegaskan bahwa pengetahuan
seseorang tentang kesepakatan umat Islam yang berada diberbagai belahan dunia
ini, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, dapat dikatakan hal yang paling
sulit terjadi.Pendapat ini diterima oleh Muhammadiyah.
Selanjutnya
qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima Muhammadiyah
dengan catatan bukan menyangkut ibadah mahdah.Ketika Muhammadiyah mengadakan
pembahasan tentang qiyas, ternyata banyak peserta mu’tamar tarjih yang tidak
setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, tetapi
banyak pula yang menyetujuinya. Engan kata lain warga Muhammadiyah tidak
sepakat penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum.Namun demikian
kenyataannya, betapapun seseorang atau sekelompok orang tidak menerima qiyas,
namun persoalan-persoalan yang baru harus diselesaikan dengan melihat
‘illatnya. Kegiatan ini tidak lain kecuali qiyas.
Istihsan sebagai
metode penetapan hukum tidak dijelaskan Muhammadiyah secara eksplisit, tetapi
dari rumusan yang terdapat dalam manhaj Majelis Tarjih dapat dipahami bahwa
metode istihsân diterima oleh Muhammadiyah.Dalam poin ke sembilan manhaj
tersebut dinyatakan bahwa menta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan
hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan
Hadist.Kegiatan ini erat kaitannya dengan metode istihsân.
Berbeda dengan
qiyâs dan istihsân, dalam al-maslahat al-Mursalah sama sekali tidak terdapat
nash yang secara khusus mengaturnya, melainkan termasuk ruang lingkup maqâsid
al-syari’at secara umum. Metode ini digunakan untuk mengantisipasi persoalan
baru, padahal nash dan al-Qur’an dan Hadis belum mengaturnya. Tentu bidangnya
luas dibandingkan dengan dua metode sebelumnya.Metode ini juga digunakan oleh
Muhammadiyah.
Dalam pandangan
Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan.Karena
itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup
besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Agaknya, cara berpikir seperti ini
sejalan dengan pernyataan al-tufi, salah seorang pengikut Ahmad bin Hanbal. Ia
menegaskan bahwa kemaslahatan umat merupakan jiwa dari aspek hukum dalam Islam
yang berhubungan dengan Muamalah. Bahkan lebih jauh dari itu, baginya
kemaslahatan dalam bidang muamalah harus didahulukan dari pada nas, apalagi
terjadi pertentangan satu sama lainnya. Artinya maslahat dalam bidang muamalah
dapat mentakhsiskan nash. Namun tidak berarti membatalkan nash sama sekali.
Pernyataan al-Thufi yang terakhir ini tidak dinyatakan secara eksplisit
Muhammadiyah. Namun berdasarkan keterangan sebagian pimpinan Majelis Tarjih
Muhammadiyah tetap mendahulukan zhahir nash dari pada maslahat, ketika satu
sama lain dianggap bertentangan.
Muhammadiyah
dalam berijtihad juga menggunakan metode saddu al-zari’at.Tujuan penggunaan
metode ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk
kemaslahatan manusia.
Dari uraian tersebut di
atas dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur,
yaitu :
D. Tiga Model Ijtihad
(1)
Ijtihad Bayani :
Adalah ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik
karena belum jelas makna lafazh yang dimaksud maupun karena lafazh itu
mengandung makna ganda mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian
lafazh dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih),
ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arudh). Dalam hal yang terakhir
digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih.
Secara epistemologis ijtihad Bayani adalah suatu
cara memperoleh pengetahuan dengan berpijak pada nash baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung artinya menggunakan nash atau teks suci
sebagai sumber pengetahuan yang jadi. Dengan demikian informasi hokum yang
dimunculkan nash diambil secara apa adanya. Sedangkan secara tidak langsung
maksudnya melakukan penyimpulan hokum dengan berpijak pada nash tersebut. Dalam
ungkapan lain porsi nash dalam ijtihad bayani sangat dominant daripada porsi
penalaran akal.
1. Contoh Ijtihad Bayani Langsung:
Ketentuan
shalat Tarawih 11 Raa’at dengan rangkaian 4-4-3 dan 2-2-2-2-21;
2. Contoh Ijtihad Bayani Tidak Langsung:
Shalat ‘ied yang
bersamaan waktunya shalat Jum’at tidak menggugurkan shalat jum’at (Hadis
dijumpai dalam ketentuan Surat yang dibaca Rasulullah pada shalat jum’at).
Ciri-ciri
lain model bayani
p Senantiasa berpijak
pada dalil nash
p Memperhatikan
aspek kesahihan transmissional.
p Berpegang pada
makna zahir teks
b..Al-ijtihad
al-Qiyasi,:
yakni
menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang
hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis
1. Hokum syubhat untuk bunga bank pemerintah.
Muhammadiyah berpandangan bahwa banga bank yang menyertai transaksi perbankan
pemerintah tidak sama dengan riba yang disebutkan laam al-Quran
2. Masalah zakat selain sapi/ kerbau kambing dan onta yang diqiyaskan
kepada hewan tersebut dimuka. Begitu juga kadar zakat tanaman seperti tebu,
kayu, getah, kelapa, lada, cengkeh yang diqiyaskan pada gandum, beras, jagung
dan makanan pokok lainnya yang jika telah mencapai 5 wasaq (7,5 kuintal)
zakatnya sebesar 5 atau 10 %.
c.Al-Ijtihad
al-Istishlah :
yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjukkan nash sama sekali
secara khusus, namun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian
penetapan hukum dilakukan beradasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
Contoh :
p 3.1. bayi tabung
p 3.2. aborsi untuk
menjaga (potensi) kehidupan ibu
p 3.3. Mengharamkan
perkawinan antar agama
Analisis
Pengharaman Nikah Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahlul Kitab
Haram :
Al-maidah
72-73
-لقد
كفر الذين قالوا إن الله هو المسيح ابن مريم وقال المسيح يا بني إسرائيل اعبدوا
الله ربي وربكم إنه من يشرك بالله فقد حرم الله عليه الجنة ومأواه النار وما
للظالمين من أنصار
-لقد
كفر الذين قالوا إن الله ثالث ثلاثة وما من إله إلا إله واحد وإن لم ينتهوا عما
يقولون ليمسن الذين كفروا منهم عذاب أليم;
Al-Isra
ayat akhir:
Al-Baqarah
ayat 120;
-ولن
ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم قل إن هدى الله هو الهدى ولئن اتبعت
أهواءهم بعد الذي جاءك من العلم ما لك من الله من ولي ولا نصير;
Al-Bayyinah
ayat 1 dan 6
-لم
يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين منفكين حتى تأتيهم البينة
-إن
الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين في نار جهنم خالدين فيها أولئك هم شر البرية
Mubah
al-Maidah
ayat 5; اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين
أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين
أوتوا الكتاب من قبلكم إذا آتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي أخدان
ومن يكفر بالإيمان فقد حبط عمله وهو في الآخرة من الخاسرين
·
Tujuan utama pernikahan adalah terwujudnya sakinah dalam
keluarga. Untuk itu diperlukan beberapa syarat terutama adanya kafaahfiddin
(kufu) dalam agama aka menjadikan
kendala terwujudnya sakinah tersebut.
·
Dalam agama dimungkinkan menetapkan suatu hukعu untuk
menghindari kkemudlaratan yang mungkin timbul (saddan lidzdzari’ah).
Hal ini sesuai aui pula dengan kaidah fqihiyyah yang berbunyi:
·
Dar’ul mafasidi muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih
·
UU
no.1 1974 Bab I pasal 1 dan 2
Namun bila
diurut secara rinci, jalur yang terakhir menggunakan konsep maslahah lebih
banyak dari jalur sebelumnya. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan
Muhammadiyah dalam masalah-masalah muamalah selalu bertumpu pada maqâsid
al-syari’at yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia dengan cara memperhatikan
hal-hal yang bersifat èarûriyat, hâjiyat dan tahsiniyat. Dan setiap tingkat
memperhatikan lima unsur utama yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Untuk membuktikan metode ijtihad
Muhammadiyah akan dikaji beberapa putusan Majelis Tarjih yang berhubungan fiqhi
kontemporer.
a. Keluarga Berencana
Yang
menarik dari putusan yang diambil Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai hukum
mengikuti program keluarga berencana adalah bahwa meskipun pada dasarnya
menjarangkan atau membatasi kelahiran itu tidak dibenarkan, namun dalam keadaan
darurat tindakan itu dapat dibenarkan. Apa kriteria darurat yang dimajukan?
Kelihatannya dalam membuat kriteria darurat Muhammadiyah mencoba menghubungkan
dengan maqâsid al-syari’at, yaitu demi kemaslahatan manusia. Bagi
Muhammadiyah, darurat yang dijadikan dasar bolehnya melakukan penjarangan dan
penundaan kehamilan dalam mengikuti program KB adalah:
1.Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau
kesehatan ibu karena mengandung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan
keterangan dokter yang dapat di percaya.
2. Mengkhawatirkan keselamatan
agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan seperti terseret menerima
hal-hal yang haram.
3. Menghkhawatirkan kesehatan atau
pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran terlalu dekat[20].
Jika dihubungkan dengan maqâsid
al-syari’at seperti yang telah dijelaskan maka kriteria darurat sejalan dengan
pemahaman ahli ushul fiqhi.
b.Sterilisasi
Yang dimaksud
dengan sterilisasi adalah proses pemandulan laki-laki atau wanita dengan alan
operasi agar tidak mendapatkan keturunan.caranya adalah saluran mani di potong
kemudian kedua ujungnya di ikatsehingga sel sperma tidak dapat mengalir keluar
penis. Sedangkan bagi wanita disebut tubektomi dimana sel telur dipotong dan
keduanya ditutup, sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sperma pun tidak dapat
masuk untuk bertemu dengan sel telur.
Muhammadiyah
berpendapat, bahwa sterilisasi tidak dibenarkan oleh ajaran Islam . Pernyataan
ini dapat dipahami dari penjelasannya tentang KB sebagai berikut: pencegahan
kehamilan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam ialah sikap dan
tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat segan mempunyai keturunan atau
dengan cara merubah organisme yang bersangkutan, seperti memotong dan mengikat
daln lain-lain.Muhammadiyah mengharamkan sterilisasi secara mutlak alasannya
bahwa memperoleh keturunan merupakan tujuan utama disyari’atkan nikah dalam
Islam seperti digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Ijtihad
bagi Muhammadiyah bukan saja boleh melainkan harus dilakukan terutama dalam
menghadapi berbagai masalah yang baru sebagai akibat dari kemajuan teknologi.
Tanpa melakukan ijtihad ummat Islam akan sulit menyelesaikan berbagai macam
masalah kontemporer namun demikian baginya ijtihad tidak lebih sekedar hasil
pemikiran manusia dalam memahami wahyu Allah. Karena itu hasil ijtihad yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang bersifat relatif (tidak mutlak
benar).Berdasarkan prinsp realitas hasil ijtihad itu pulalah Muhammadiyah
sampai pada satu kesimpulan bahwa ijtihad tidak dapat dijadikan sumber hukum
dalam Islam tetapi hanya sekedar metode untuk menggali dan menetapkan hukum.
2. Metode ijtihad yang
digunakan yaitu pertama; Metode ijtihad qiyasi (digunakan manakala kasus yang
baru itu ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Dan
kedua; Metode ijtihad Istislahi (digunakan manakala kasus yang baru itu tidak
ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Untuk metode yang kedua ini
Muhammadiyah menggunakan metode al-Maslahah al-Mursalah, Istihsân dan Saddu
al-Zari’ah dalam upaya mewujudkan kemaslahatan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid Turkey,Ushul Mazhab al-Imam
Ahmad Dirasat Ushuliyyat Muqaranat, Riyad: Maktaba al-Riyad al-Hadisat, 1977.
Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh
wa Mushthalahuh Beirut: Dâr al-Fikr, 1989
Amin Rais, Beberapa Pemikiran Islam
Kontemporer di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Muktamar Tarjih XXII, 1989.
Amir Maksum, Pemahaman Tajdid Dalam
Muhammadiyah, (Makalah disampaikan pada Muktamar Tarjih ke XXII, 1989.
Asmuni Abdul Rahman , Metode Penetapan
Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Dewan Nahdat, Al-Imam Muhammad Abduh,
Beirut; Dar al-Ilmi li al-Malayin,1983.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in an
Rabbil al-‘Alamin, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikri, 1964.
Lihat Berita Resmi Muhammadiyah Nomor
Khusus, Tanfidz KeputusanMuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII”, PP.
Muhammadiyah,1990.
Lihat”Pokok-pokok Manhaj Majelis
Tarjih”, yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan” dalam PP Muhammadiyah
Majelis Tarjih, Buku Panduan Muktamar Tarjih MuhammadiyahXXII,(Mlang: 1989.
Hasyim Manan, Muhammadiyah sebagai
gerakan Tajdid Keagamaan, dalam A. Halim Mahfuz , op.cit.h. 24-25
Mustafa Zaid, Al-Maslahat fi al-Tasyrî
al-Islami wa Najmu al-Dinal-Thufî, t.t.:Dâr al-Fikr, 1964.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Himpunan
Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta: t.th.
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Jakarta:
al-Majelis al-‘ala al-Indunisi li al-Da’wat al-Islamiyat, 1972.
Wawasan Teologis Para Pemimpin
Muhammadiyah Harus di Bangkitkan”, dalam Yogya Post, (15 Desember 1990).
No comments:
Post a Comment