Search makalah

Wednesday, 15 November 2017

MAKALAH METODE IJTIHAT MAJELIS TARIH MUHAMMADIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
            Pada hakikatnya, pemikiran Islam merupakan hasil olah pikir kaum muslimin yang dilakukan untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Pemikiran kaum muslim ini sudah
tentu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberikan pengarahan, kearah mana pemikiran tersebut harus dikembangkan. Meskipun ditemui keragaman pemikiran dikalangan muslimin.
Keragaman pemikiran itu disebabkan oleh perbedaan persepsi antar kelompok-kelompok umat dan perbedaan interpretasi tentang suatu ayat atau hadis. Namun Keragaman pemikiran itu tidak perlu mejadi penghalang bagi pertumbuhan masyarakat, bahkan bila dihadapi dan dikelola secara bijak, keragaman pemikiran itu justru akan menimbulkan kesegaran. Secara objektif, pemikiran yang tidak tahan bantingan akan dengan sendirinya masuk ke kota sejarah, sedangkan pemikiran yang lebih kokoh dan benar akan terus bertahan melayani umat dan masyarakat.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyakatan Islam tertua di Indonesia. Sebagai organisasi kemasyarakatan, ia mengurus berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, panti asuhan, penyuluhan, kebajikan dan lain-lain yang jumlahnya semakin bertambah setiap tahun. Ia juga mempunyai berbagai organisasi otonom, majelis dan lain-lain terikat dengan cita-cita Muhammadiyah.
Muhammadiyah, melalui majelis tarjihnya, telah berusaha untuk mengikuti perkembangan pemikiran keislaman dan sekaligus memberikan tanggapannya. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa sumber ajaran Islam hanya al-Qur’an dan Sunnah.Artinya bahwa segala persoalan yang muncul saat ini harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut.Tentu penalaran yang cerdas tidak dapat diabaikan, terutama dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang baru dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka ijtihad memegang peranan yang strategis dan penting dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum kontemporer.Namun demikian menurut Muhammadiyah, ijtihad tidak lebih dari sekedar metode untuk memahami isi dan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah.Karena itu, Mujtahid hanyalah sebagai pengungkap hukum (kasyf al-hukum), tidak sebagai penetap hukum (munsyi’ al-hukm).
Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada tajdid.Bagi organisasi ini,tajdid dapat berarti reformasi dan dapat pula berarti modernisasi.Tajdid dalam arti yang pertama, kelihatannya sudah banyak dilakukan oleh organisasi sosial keagamaan ini.Untuk menyelesaikan masalah-masalah fiqhi kontemporer, yang merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, organisasi ini berpendapat bahwa peranan akal manusia menjadi penting artinya dalam memahami ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis.Karena itu bagi Muhammadiyah ijtihad bukan saja perlu, namun juga harus dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.
B.     Permasalahan
Berangkat dari latar belakang di atas, permasalahan yang penting untuk dikemukakan dalam kajian ini adalah; bagaimana metode ijtihad Majelis Tarih Muhammadiyah? Dengan sub masalah sebagai berikut:
  1. Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?
  2. Bagaimanakah pokok – pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah ?
  3. Bagaimana hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah?
  4. Bagaimana metode ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah?



BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?
Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
Artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddu’a’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.”Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
            Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
  • Tujuan ijtihad
untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
  • Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.


  • Jenis-jenis Ijtihad
1. Ijma’
            Yaitu kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hokum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Bentuk ijtihad ini didasarkan pada hadist Nabi SAW : “Ummatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.” Ijma yang dihasilkan haruslah didasarkan pada hadist dan Al-quran yang diterima. Ijma adapula yang merupakan kesepakatan para sahabat Nabi yang disebut ijma’
 Shahabat yang dianggap sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-quran dan Assunah seperti mendirikan bagi masyarakat islam dan mengangkat pemimpin (khalifah) bagi ummat.

2. Qiyas
Secara bahasa artinya ialah analogi, secara istilah ialah Ushul Fikih yang berarti menetapkan suatu hukum “baru” yang belum ada nash - nya dengan hukum “ yang sudah ada” nashnya. Nash menurut bahasa adalah rofu assyari atau munculnya segalasesuatu yang tampak. Sedangkan menurut syaraadalah : Suatu lafadz yang maknanya lebih jelas Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang diketahui Muhammad Adib Salih berkesimpulan bhawa yang dimaksud Nash adalah: Lafaz yang menunjukan hokum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan. Disini Nash lebih memberi kejelasanmaknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa. Adapun Kedudukan (hukum) lafadz nash yaitu wajib diamalkan sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan (menentukan beberapa maknayang mungkin terkandung di dalam ayat al-Quran yang mempunyai berbagai makna) Qiyas menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.

Beberapa definisi qiyâs (analogi)
1.      Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik
persamaan di antara keduanya.
2.   Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan di antaranya.
3.   Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (ilat ).karena adanya persamaan‘illat hukum (maksud dan tujuan hukum) dari peristiwa tersebut.

Contohnya hukum menempeleng orang tua, itu belum ada nash-nya. Nash yang sudah
ada adalah mengatakan “Ah” seperti yang tercantum pada Q.S Al-Isra/17:23.„
illat hukum atau yang disebut juga sebab dan tujuan seperti yang disebutkan tadi larangan mengatakan ahh dan membentak orang tua karena akan menyakiti hati orang tua.Qiyas pertama kali digunakan secara luas oleh Imam Hanafi. Tetapi berdasarkan luas danterbatasnya qiyas secara berturut - turut digunakan oleh Imam SyafiI, Imam Maliki dan
yang paling terbatas adalah Imam Hambali. Adapun Imam Jafari menolak penggunaan metodologi ini karena menurut Ia masalah agama tidak dapat digeneralisasikan.

3. Istihsan
Merupakan perluasan dari qiyas. Jadi istihsan adalah meninggalkan qiyas jalli (qiyas nyata) untuk menjalankan qiyas khafi (qiyas samar), atau meninggalkan hokum kulli(hokum umum) untuk menjalankan hokum istisnaI (pengecualian) karena adanya dalil logika yang membenarkannya. Istihsan juga menetapkan suatu hokum dimana yangberlainan dengan hasil qiyas karena pertimbangan kepentingan dan kemaslahatan umat menghindarkan terjadinya kesulitan dan kezaliman.Contohnya penggunaan ihtihsan dalam jual beli.Islam hanya membenarkan transaksi jual beli jika barangnya sudah nyata adanya. Pada prakteknya yang disebut salam, ada diantaranya praktek jual beli dengan dibayar terlebih dahulu tetapi barangnya dikemudian hari, ini dilarang oleh Islam. Padahal tentu saja maksudnya agar tidak terjadi kecurangan.Tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi transaksi bisnis masa kinisemakin cepat berjalan. Pembayaran ini disebut praktek salam yang merupakan kekecualian dari yang umum terjadi.

4.   Mashalih al-mursalah
Ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara dan tidak adapula nash-nya, baik yang memerintah maupun yang melarang. Contohnya dalam menentukan hukuman.Dalam islam menetapkan hokum qisas dimana jika ada seorang pezina dan penuduh zina tidak dapat menghadirkan saksi empat orang , atau hokum potong tangan bagi pencuri. Dalam perkembangan hokum yang terjadi adanya keberagaman tindak pidana namun tidak tercakup secara tegas dalam syara.Kemudian muncullah penjara.Syara itu sendiritidak memerintahkan ataupun melarang pembuatan penjara.Tapi karena dilihat kembalipada fungsinya bagi keamanan dan ketertiban masyarakat maka keberadaan penjara pundipandang maslahat.Sebenarnya mashalih al-mursalah mirip dengan istihsan yakni mencari kemaslahatan.Bedanya jika istihsan mengambil qiyas khafi dari qiyash jalli, maka mashalih al-mursalah menetapkan suatu hokum yang tidak diperintahkan ataupundilarang oleh syara.

5.      ‘Urf atau adat kebiasaan
 ‘Urf merupakan adat kebiasaan masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan yang  baik, yang karenanya dapat dibenarkan oleh syara. Contoh dalam kehidupan sehari
harinya ketika kita belanja di supermarket kita memilih barang dan membayarnya tanpa
ijab qabul, tetapi sebenarnya ketika kita membayar ke kasir sudah terjadi ijab qabu;. Ini
dikarenakan hokum kebiasaan (‘urf) lah yang menetapkan sahnya transaksi demikian.Ada juga ‘urf yang rusak seperti misalnya praktek riba yang menjadi kebiasaan masyarakat padahal syara nya mengharamkan hal seperti itu. Adapun syarat-syarat yang memenuhi adat kebiasaan sebagai dasar penetapan hokum secara islami adalah :
1.      Berlaku secara umum di masyarakat atau kelompok tertentu
2.      Adat itu sudah ada saat terjadinya suatu perkara hokum
3.       Tidak bertentangan dengan dalil syara dan prinsip hokum islam Adapula tambahan dari jenis ijtihad yaitu Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Di Indonesia, ijtihad sering dilakukan secara kolektif (ijtihad jamiyah), antara lain terjadinya dalam forum seperti Forum Bahtsul Masail Diniyah (Nahdhatul Ulama) dan berbagai majelis dan organisasi agama lainnya.



Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah
  1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Quran dan as-sunnah as-Sahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illat terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad termasuk qiyas sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung; 
  2. Dalam menentukan sesuatu keputusan dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang kuat;
  3. Tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat;
  4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar.Keputusan diambil atas dasar  landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapat ketika keputusan diambil. Koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan;
  5. Di dalam masalah aqiedah (tawhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir;
  6. Tidak menolak ijma’ Shahabat sebagai dasar sesuatu keputusan;
  7. Terhadap dalil-dalil yang mengandung ta’arudl digunakan cara al-jam’u wat-tawfieq da kalau tidak dapat diakukan barudilakukan tarjih;
  8. Menggunakan asas sadd adz-dzara’i untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah;
  9. Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah sepanjang sesuai dengan kandungan syari’ah. Adapun kaidah “al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu dapat berlaku;
  10. Penggunaan dalil untuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat tidak terpisah;
  11. Dalil-dalil umum al-Quran dapat diktakhsis hadis Ahad kecuali dalam bidang aqidah;
  12. Dalam mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip at-taysir;
  13. Dalam bidang ibadah yang ketentuan-ketentuannya dari al-Quran dan as-Sunnah, pemahamannya dapat dilakukan dengan mnggunakan akal sepanjang diketahui latarbelakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal besifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapiperubahan situasi dan kondisi;
  14. Dalam hal-hal yang termasuk al-umur ad-dunyawiyyah pengunaan akal sangat diperlukan demi kemaslahatan ummat;
  15. Untuk memahami nash yang musytarak paham Shahabat dapat diterima;
B.     Hakikat Ijtihad Dalam Muhammadiyah
Ijtihad dapat dilakukan secara individu dan kolektif.Muhammadiyah memilih ijtihad dalam bentuk yang kedua.Hal ini dilihat dengan dibentuknya sebuah lembaga yang disebut Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fiqih.Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yokyakarta, dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama.Tujuan pendirian Majelis ini adalah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyat, kemudian menetapkan pendapat yang terkuat, untuk diamalkan warga Muhammadiyah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Majelis Tarjih tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyat, tetapi juga mengarah pada penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya.Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak anggota Lajnah Tarjih menuntut agar Majelis Tarjih diubah namanya menjadi Majelis ijtihad.Namun dengan alasan kesejarahan, sampai saat ini namanya tetap Majelis Tarjih.
Sejak didirikannya pada tahun 1928 sampai sekarang, tugas Majelis Tarjih telah mengalami perkembangan dan perubahan. Semula majelis ini hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Tugas utama ini perlu dilakukan oleh majelis Tarjih, ketika lembaga ini didirikan, warga Muhammadiyah sendiri akan mengalami perselisihan yang tajam. Agaknya, Tugas utama Majelis Tarjih pada awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama mengenai pelaksanaan ibadah. Hal ini dapat dilihat pada agenda pembahasan muktamar tarjih pertama tahun 1929 di Solo sampai muktamarnya pada tahun 1953, hanya membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah mulai dari masalah bersuci sampai pelaksanaan ibadah haji ditambah pembahasan jenazah dan waqaf. Pada tahun 1954 dan tahun 1955 membahas sumber ajaran Islam.Kemudian mulai tahun 1968 sampai sekarang baru dibahas dan ditetapkan hukumnya mengenai berbagai masalah mu’amalah kontemporer.Disadari bahwa ijtihad dalam berbagai masalah kontemporer merupakan tugas yang tidak mudah, maka orang yang ikut serta dalam pembahasan tersebut seharusnya memenuhi kualifikasi ijtihad.
Dalam lapangan atau ruang lingkup ijtihad, berpendapat bahwa ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, hanya berlaku dalam fiqhi saja.Masalah aqidah termasuk masalah yang tidak boleh diijtihadkan lagi apalagi jika dikaji secara rasional.Bidang yang terakhir ini oleh Muhammadiyah dimasukan kepada lahan pemurnian, dan bukan lahan modernisasi.Tentu pendapat ini tidak sepenuhnya disetujui oleh warga Muhammadiyah, terutama para cendikiawan atau pemikirnya. Mereka menginginkan ijtihad Muhammadiyah secara menyeluruh, tidak terbatas pada masalah fiqhi saja.Mereka menginginkan ijtihad muhammadiyah sama seperti ijtihad Muhammad Abduh. Mengenai hal ini M.Watik Pratiknya berharap agar tajdid tidak hanya diartikan sebagai purifikasi saja, tetapi harus diartikan juga sebagai redefinisi dan reformulasi.Baginya masalah-masalah baru harus dipahami secara integralistik.Adapun rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut :
Dari segi bahasa tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdid memiliki dua arti, yakni;
a. Pemurnian;
b. Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur’an dan As Sunnah Ash-Shohihah.
Dalam arti “peningkatan,pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk melakukan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.Menurut perserikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdid di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijitihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran islam, al-Qur’an dan hadits; dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam pembentukannya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali Al-Qur’an dan hadist sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya bagi Muhammadiyah akal mempunyai peranan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadist. Namun kata-kata “yang dijiwai ajaran Islam” memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadist. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhahir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari pada pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh Muhammad Abduh. Menurut yang disebut terakhir ini, akal harus didahulukan dari arti zhahir nash, jika terdapat pertentangan diantara keduanya. Artinya, nash itu harus dicari interprestasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.
Untuk memahami lebih jelas hakikat tajdid dalam Muhammadiyah, perlu diperhatikan pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam pembahasan masalah tajdid pada forum muktamar tarjih XXII itu.Dari rangkaian pemikiran itu diharapkan dapat dilihat karakteristik atau hakikat ijtihad dalam Muhammadiyah.
            Amin Rais, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah periode 1985-1990, pada dasarnya menerima upaya kontekstualisasi ajaran Islam. Upaya itu menurutnya, harus tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Hadist.Artinya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist dapat dipahami sesuai dengan konteks dimana umat Islam itu berada. Tetapi ia tidak setju kalau “sebuah hukum yang sudah qat’i dalam al-Qur’an disesuaikan dengan praktek masyarakat modern”. Sementara itu Mukti Ali, dalam prasarannya di forum muktamar tarjih, menyetujui sepenuhnya upaya kontekstualisasi ajaran Islam.Ia menyatakan, untuk menghadapi dunia yang serba berubah ini “teks”al-Qur’an dan Hadist harus dipahami dengan memperhatikan keadaan disekitarnya, konteks. Itulah yang dimaksud memahami agama Islam secara kontekstual.
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman Muhammadiyah tentang ijtihad bertitik tolak dari kerangka berpikir, bahwa Islam diyakini sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal.Islam dalam pengertian ini tidak dapat diubah.Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan situasi baru.Kelihatannya bagi Muhammadiyah ijtihad memberikan kemungkinan adanya penyegaran dan penyesuaian Islam pada situasi baru.Dengan ijtihad itulah ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya, dapat diterima umat manusia dimana dan kapanpun mereka berada.

C.    Metode Ijtihad Muhammadiyah
Kajian ini difokuskan pada apa yang tertulis dalam manhaj istinbath Majelis Tarjih dan Himpunan Putusan Tarjih untuk melihat lebih jauh konsistensi Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah digariskan.
Sumber hukum utama dalam pandangan Muhammadiyah tidak berbeda dengan NU bahkan seluruh umat Islam dalam berbagai mazhab dan aliran yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.Artinya al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum.Sedangkan Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Tentu penjelasan dari Sunnah tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskan al-Qur’an. Karena itu menurut ahli hadis salah satu tolak ukur untuk menyeleksi hadis adalah harus diuji dengan al-Qur’an.Kalau hadis sejalan dengan al-Qur’an maka hadis itu dapat diterima.Tetapi jika Hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an, maka, Hadis itu tidak dapat diterima.
Kelihatannya Muhammadiyah tidak mengembangkan tolak ukur tersebut.Sebagai indikatornya ada beberapa hadis yang dijadikan putusan tarjih, yang diduga sementara pihak sebagai tidak sejalan dengan al-Qur’an.Sebagai contoh Hadis tentang hukum membayar puasa untuk orang yang meninggal dunia dan hukum memakai emas bagi laki-laki.
Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan yang baru, sepanjang tidak berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat dalam nash sharih yaitu al-Qur’an dan Sunnah, dilakukan denga ijtihad dan isthimbath dari nas yang ada melalui persamaan ‘illat.Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan merupakan sumber hukum tetapi sebagai metode penetapan hukum dalam Islam.
Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqhi terdahulu, namun di sana sini terdapat modifikasi atau kombinasi seperlunya. Ijma yang dibahas dalam ushul fiqhi tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah.Organisasi ini hanya menerima konsep ijma yang terjadi dikalangan sahabat.Hal ini mengisyaratkan bahwa ijma tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat.Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
            Banyak faktor yang menyebabkan tidak adanya ijma pada masa sekarang.Salah satu diantaranya karena jumlah umat Islam sekarang ini cukup banyak dan mereka tersebar diberbagai belahan dunia yang berjauhan.Lebih dari itu menentukan kriteria mujtahid, seperti yang terdapat dalam defenisi ijma, juga tidak mudah. Belum lagi adanya perbedaan sekte dan aliran dalam Islam yang pada gilirannya akan mempesulit proses ijma itu. Bahkan Ibnu Qayyim menegaskan bahwa pengetahuan seseorang tentang kesepakatan umat Islam yang berada diberbagai belahan dunia ini, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, dapat dikatakan hal yang paling sulit terjadi.Pendapat ini diterima oleh Muhammadiyah.
Selanjutnya qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima Muhammadiyah dengan catatan bukan menyangkut ibadah mahdah.Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas, ternyata banyak peserta mu’tamar tarjih yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, tetapi banyak pula yang menyetujuinya. Engan kata lain warga Muhammadiyah tidak sepakat penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum.Namun demikian kenyataannya, betapapun seseorang atau sekelompok orang tidak menerima qiyas, namun persoalan-persoalan yang baru harus diselesaikan dengan melihat ‘illatnya. Kegiatan ini tidak lain kecuali qiyas.
Istihsan sebagai metode penetapan hukum tidak dijelaskan Muhammadiyah secara eksplisit, tetapi dari rumusan yang terdapat dalam manhaj Majelis Tarjih dapat dipahami bahwa metode istihsân diterima oleh Muhammadiyah.Dalam poin ke sembilan manhaj tersebut dinyatakan bahwa menta’lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadist.Kegiatan ini erat kaitannya dengan metode istihsân.
Berbeda dengan qiyâs dan istihsân, dalam al-maslahat al-Mursalah sama sekali tidak terdapat nash yang secara khusus mengaturnya, melainkan termasuk ruang lingkup maqâsid al-syari’at secara umum. Metode ini digunakan untuk mengantisipasi persoalan baru, padahal nash dan al-Qur’an dan Hadis belum mengaturnya. Tentu bidangnya luas dibandingkan dengan dua metode sebelumnya.Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah.
Dalam pandangan Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan.Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Agaknya, cara berpikir seperti ini sejalan dengan pernyataan al-tufi, salah seorang pengikut Ahmad bin Hanbal. Ia menegaskan bahwa kemaslahatan umat merupakan jiwa dari aspek hukum dalam Islam yang berhubungan dengan Muamalah. Bahkan lebih jauh dari itu, baginya kemaslahatan dalam bidang muamalah harus didahulukan dari pada nas, apalagi terjadi pertentangan satu sama lainnya. Artinya maslahat dalam bidang muamalah dapat mentakhsiskan nash. Namun tidak berarti membatalkan nash sama sekali. Pernyataan al-Thufi yang terakhir ini tidak dinyatakan secara eksplisit Muhammadiyah. Namun berdasarkan keterangan sebagian pimpinan Majelis Tarjih Muhammadiyah tetap mendahulukan zhahir nash dari pada maslahat, ketika satu sama lain dianggap bertentangan.
Muhammadiyah dalam berijtihad juga menggunakan metode saddu al-zari’at.Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah untuk kemaslahatan manusia.
 Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yaitu :
D.    Tiga Model Ijtihad
(1) Ijtihad Bayani :
Adalah ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafazh yang dimaksud maupun karena lafazh itu mengandung makna ganda mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafazh dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih), ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arudh). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih.
Secara epistemologis ijtihad Bayani adalah suatu cara memperoleh pengetahuan dengan berpijak pada nash baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung artinya menggunakan nash atau teks suci sebagai sumber pengetahuan yang jadi. Dengan demikian informasi hokum yang dimunculkan nash diambil secara apa adanya. Sedangkan secara tidak langsung maksudnya melakukan penyimpulan hokum dengan berpijak pada nash tersebut. Dalam ungkapan lain porsi nash dalam ijtihad bayani sangat dominant daripada porsi penalaran akal.
1.      Contoh Ijtihad Bayani Langsung:
     Ketentuan shalat Tarawih 11 Raa’at dengan rangkaian 4-4-3 dan 2-2-2-2-21;
2.      Contoh Ijtihad Bayani Tidak Langsung:
Shalat ‘ied yang bersamaan waktunya shalat Jum’at tidak menggugurkan shalat jum’at (Hadis dijumpai dalam ketentuan Surat yang dibaca Rasulullah pada shalat jum’at).
Ciri-ciri lain model bayani
p  Senantiasa berpijak pada dalil nash
p  Memperhatikan aspek kesahihan transmissional.
p  Berpegang pada makna zahir teks

b..Al-ijtihad al-Qiyasi,:
yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadis
1. Hokum syubhat untuk bunga bank pemerintah. Muhammadiyah berpandangan bahwa banga bank yang menyertai transaksi perbankan pemerintah tidak sama dengan riba yang disebutkan laam al-Quran
2. Masalah zakat selain sapi/ kerbau kambing dan onta yang diqiyaskan kepada hewan tersebut dimuka. Begitu juga kadar zakat tanaman seperti tebu, kayu, getah, kelapa, lada, cengkeh yang diqiyaskan pada gandum, beras, jagung dan makanan pokok lainnya yang jika telah mencapai 5 wasaq (7,5 kuintal) zakatnya sebesar 5 atau 10 %.

c.Al-Ijtihad al-Istishlah :
yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjukkan nash sama sekali secara khusus, namun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukum dilakukan beradasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
Contoh  :
p  3.1. bayi tabung
p  3.2. aborsi untuk menjaga (potensi) kehidupan ibu
p  3.3. Mengharamkan perkawinan antar agama
Analisis Pengharaman Nikah Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahlul Kitab
Haram :
Al-maidah 72-73
-لقد كفر الذين قالوا إن الله هو المسيح ابن مريم وقال المسيح يا بني إسرائيل اعبدوا الله ربي وربكم إنه من يشرك بالله فقد حرم الله عليه الجنة ومأواه النار وما للظالمين من أنصار
-لقد كفر الذين قالوا إن الله ثالث ثلاثة وما من إله إلا إله واحد وإن لم ينتهوا عما يقولون ليمسن الذين كفروا منهم عذاب أليم;
Al-Isra ayat akhir:
Al-Baqarah ayat 120;
-ولن ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم قل إن هدى الله هو الهدى ولئن اتبعت أهواءهم بعد الذي جاءك من العلم ما لك من الله من ولي ولا نصير;
Al-Bayyinah ayat 1 dan 6
-لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين منفكين حتى تأتيهم البينة
-إن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين في نار جهنم خالدين فيها أولئك هم شر البرية



Mubah
al-Maidah ayat 5; اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا آتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي أخدان ومن يكفر بالإيمان فقد حبط عمله وهو في الآخرة من الخاسرين
·         Tujuan utama pernikahan adalah terwujudnya sakinah dalam keluarga. Untuk itu diperlukan beberapa syarat terutama adanya kafaahfiddin (kufu) dalam agama  aka menjadikan kendala terwujudnya sakinah tersebut.
·         Dalam agama dimungkinkan menetapkan suatu hukعu untuk menghindari kkemudlaratan yang mungkin timbul (saddan lidzdzari’ah). Hal ini sesuai aui pula dengan kaidah fqihiyyah yang berbunyi:
·         Dar’ul mafasidi muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih
·         UU no.1 1974 Bab I pasal 1 dan 2
Namun bila diurut secara rinci, jalur yang terakhir menggunakan konsep maslahah lebih banyak dari jalur sebelumnya. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan Muhammadiyah dalam masalah-masalah muamalah selalu bertumpu pada maqâsid al-syari’at yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia dengan cara memperhatikan hal-hal yang bersifat èarûriyat, hâjiyat dan tahsiniyat. Dan setiap tingkat memperhatikan lima unsur utama yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Untuk membuktikan metode ijtihad Muhammadiyah akan dikaji beberapa putusan Majelis Tarjih yang berhubungan fiqhi kontemporer.
a. Keluarga Berencana
Yang menarik dari putusan yang diambil Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai hukum mengikuti program keluarga berencana adalah bahwa meskipun pada dasarnya menjarangkan atau membatasi kelahiran itu tidak dibenarkan, namun dalam keadaan darurat tindakan itu dapat dibenarkan. Apa kriteria darurat yang dimajukan? Kelihatannya dalam membuat kriteria darurat Muhammadiyah mencoba menghubungkan dengan maqâsid al-syari’at, yaitu demi kemaslahatan manusia. Bagi Muhammadiyah, darurat yang dijadikan dasar bolehnya melakukan penjarangan dan penundaan kehamilan dalam mengikuti program KB adalah:
1.Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengandung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan keterangan dokter yang dapat di percaya.
2. Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan penghidupan seperti terseret menerima hal-hal yang haram.
3. Menghkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran terlalu dekat[20].
Jika dihubungkan dengan maqâsid al-syari’at seperti yang telah dijelaskan maka kriteria darurat sejalan dengan pemahaman ahli ushul fiqhi.
b.Sterilisasi
Yang dimaksud dengan sterilisasi adalah proses pemandulan laki-laki atau wanita dengan alan operasi agar tidak mendapatkan keturunan.caranya adalah saluran mani di potong kemudian kedua ujungnya di ikatsehingga sel sperma tidak dapat mengalir keluar penis. Sedangkan bagi wanita disebut tubektomi dimana sel telur dipotong dan keduanya ditutup, sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sperma pun tidak dapat masuk untuk bertemu dengan sel telur.
Muhammadiyah berpendapat, bahwa sterilisasi tidak dibenarkan oleh ajaran Islam . Pernyataan ini dapat dipahami dari penjelasannya tentang KB sebagai berikut: pencegahan kehamilan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam ialah sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat segan mempunyai keturunan atau dengan cara merubah organisme yang bersangkutan, seperti memotong dan mengikat daln lain-lain.Muhammadiyah mengharamkan sterilisasi secara mutlak alasannya bahwa memperoleh keturunan merupakan tujuan utama disyari’atkan nikah dalam Islam seperti digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.


BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Ijtihad bagi Muhammadiyah bukan saja boleh melainkan harus dilakukan terutama dalam menghadapi berbagai masalah yang baru sebagai akibat dari kemajuan teknologi. Tanpa melakukan ijtihad ummat Islam akan sulit menyelesaikan berbagai macam masalah kontemporer namun demikian baginya ijtihad tidak lebih sekedar hasil pemikiran manusia dalam memahami wahyu Allah. Karena itu hasil ijtihad yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang bersifat relatif (tidak mutlak benar).Berdasarkan prinsp realitas hasil ijtihad itu pulalah Muhammadiyah sampai pada satu kesimpulan bahwa ijtihad tidak dapat dijadikan sumber hukum dalam Islam tetapi hanya sekedar metode untuk menggali dan menetapkan hukum.
2. Metode ijtihad yang digunakan yaitu pertama; Metode ijtihad qiyasi (digunakan manakala kasus yang baru itu ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Dan kedua; Metode ijtihad Istislahi (digunakan manakala kasus yang baru itu tidak ada padanannya dalam nash Al-Qur’an atau Hadist). Untuk metode yang kedua ini Muhammadiyah menggunakan metode al-Maslahah al-Mursalah, Istihsân dan Saddu al-Zari’ah dalam upaya mewujudkan kemaslahatan manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Turkey,Ushul Mazhab al-Imam Ahmad Dirasat Ushuliyyat Muqaranat, Riyad: Maktaba al-Riyad al-Hadisat, 1977.
Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh Beirut: Dâr al-Fikr, 1989
Amin Rais, Beberapa Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Muktamar Tarjih XXII, 1989.
Amir Maksum, Pemahaman Tajdid Dalam Muhammadiyah, (Makalah disampaikan pada Muktamar Tarjih ke XXII, 1989.
Asmuni Abdul Rahman , Metode Penetapan Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Dewan Nahdat, Al-Imam Muhammad Abduh, Beirut; Dar al-Ilmi li al-Malayin,1983.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbil al-‘Alamin, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikri, 1964.
Lihat Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, Tanfidz KeputusanMuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII”, PP. Muhammadiyah,1990.
Lihat”Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih”, yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan” dalam PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Buku Panduan Muktamar Tarjih MuhammadiyahXXII,(Mlang: 1989.
Hasyim Manan, Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid Keagamaan, dalam A. Halim Mahfuz , op.cit.h. 24-25
Mustafa Zaid, Al-Maslahat fi al-Tasyrî al-Islami wa Najmu al-Dinal-Thufî, t.t.:Dâr al-Fikr, 1964.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Himpunan Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta: t.th.
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Jakarta: al-Majelis al-‘ala al-Indunisi li al-Da’wat al-Islamiyat, 1972.
Wawasan Teologis Para Pemimpin Muhammadiyah Harus di Bangkitkan”, dalam Yogya Post, (15 Desember 1990).


No comments:

cari judul makalah