BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Melacak sejarah pertumbuhan dan
perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sebenarnya sudah dikenal
manusia di muka bumi ini. Yaitu, yang dikenal dengan istilah adapt istiadat
(al-adalah/ tradisi) yang sangat dihormati oleh setiap individu, keluarga dan
masyarakat.
Selama lebih kurang seribu tahun
ahli-ahli fikir Yunani dianggap telah pernah membangun “kerajaan filsafat “,
dengan lahirnya berbagai ahli dan timbulnya berbagai macam aliran filsafat.
Para penyelidik akhlak mengemukakan, bahwa ahli-ahli semata-semata berdasarkan
fikiran dan teori-teori
pengetahuan, bukan berdasarkan agama.
Pada pembahasan sebelumnya kami
telah membahas tentang pengertian akhlak dan tasauf. Sehingga pada pembahasan
ini kami sebagai pemakalah akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan akhlak
pada zaman Yunani sampai Arab sebelum Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa definisi akhlak tersebut ?
2. Bagaimana sejarah dan seluk beluk dalam akhlak ?
3. Bagaimana perbedaan akhlak islami dan masa kemasa ?
4. Apa yang dipelajari mengenai perkembangan akhlak islami ?
C. Tujuan
1.
Mengenal sejarah perkembangandan seluk beluk akhlak..
2.
Mengetahui apakah akhlak mengalami perkembangan dari masa ke
masa atau tidak.
3.
Membedakan akhlak islami dari masa ke masa.
4.
Mempelajari tentang perkembangan akhlak islami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Pengertian secara Etimologis,
kata Akhlak adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, Al-akhlak, jamak dari
kata Al-Khuluk yang berarti budi pekerti, tabiat atau watak. Lalu
secara Terminologis pengertian akhlak telah banyak dikemukakan oleh para ulama.
Mereka mendefinisikan akhlak ialah “kebeiasaan kehendak” yang berarti bahwa
kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak.
Bisa diartikan pula pengertian akhlak adalah mencakup perbuatan-perbuatan
seseorang yang telah mempribadi atau telah menjadi kebiasaan bagi yang
bersangkutan.
Imam Al ghazali
dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan
pertimbangan pikiran terlebih dahulu”
Dari
pengertian-pengertia diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak ialah
perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan secara
berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan
dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain.
B. Perkembangan ilmu akhlak
1.
Sejarah Akhlak pada Fase Yunani
Perkembangan ilmu
akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut
Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan
sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai
akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya
mengenai alam.
Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam
membangun Ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia. Ini
menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis,
yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan
yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat antropo-sentris, dan mengesankan
bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya
manusia sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar
pada logika murni.
Pandangan dan
pemikiran filsafat yang dikemukakan para filosof Yunani itu secara redaksional
berbeda-beda, tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan angkatan
muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik, merdeka, dan mengetahui
kewajiban mereka terhadap tanah airnya.[1]
Ada beberapa ahli-ahli
fikir Yunani yang menyingkapkan pengetahuan akhlak, di antaranya:
a. Socrates (469 - 399 SM). Socrates dipandang
sebagai perintis ilmu akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha
sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antar manusia dengan dasar ilmu
pengetahuan.[2]
Sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu. Namun demikian, para
peneliti terhadap pemikiran Socrates ada yang mengatakan bahwa Socrates tidak
menunjukkan dengan jelas tujuan akhir dari akhlak dan tidak memberikan
patokan-patokan untuk mengukur segala perbuatan dan menghukumkannya baik atau
buruk. Akibatnya, maka timbullah beberapa golongan yang mengemukakan berbagai
teori tentang akhlak yang dihubungkan pada Socrates.
Golongan terpenting yang lahir setelah
Socrates adalah Cynics dan Cyrenics. Keduanya dari pengikut Socrates. Golongan
Cynics di bangun oleh Antistenes (414 - 370 SM). Menurut golongan ini bahwa
ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah
orang yang berperangai dengan akhlak ke Tuhanan. Maka ia mengurangi
kebutuhannya sedapat mungkin rela dengan sedikit, suka menanggung penderitaan
dan mengabaikannya. Di antara pemimpin paham golongan Cynics yang terkenal
adalah Diagenes yang meninggal pada tahun 323 SM. Dia memberi pelajaran pada
kawan-kawan supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan
peranannya. Dia memakai pakaian yang kasar makan-makanan yang buruk dan tidur
di atas tanah. Adapun golongan “Cyrenics” di bangun oleh Aristippus yang lahir
di Cyrena (kota Barka di utara Afrika). Golongan ini berpendapat bahwa mencari
kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merupakan satu-satunya tujuan hidup
yang benar dan perbuatan itu dinamai utama bila timbul kelezatan yang lebih
besar dari kepedihan.[3]
Kedua golongan tersebut, sama-sama bicara tentang
perbuatan yang baik, utama dan mulia. Golongan pertama, Cynics bersikap memusat
pada Tuhan (teo-sentris) dengan cara manusia berupaya mengindentifikasi sifat
Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. sedangkan golongan
kedua, Cyrenics bersikap memusat pada manusia (antro-pocentris) dengan cara
manusia mengoptimalkan perjuangan dirinya dan memenuhi kelezatan hidupnya.
b. Plato (427 – 347 SM). Seorang filsafat Athena
dan murid dari Socrates, bukunya yang terkenal adalah “Republic”. Ia membangun
ilmu akhlak melalui akademi yang ia dirikan. Pandangannya dalam akhlak berdasar
dari “teori contoh” bahwa di balik alam ini ada alam rohani sebagai alam yang
sesungguhnya.[4] Dan di alam rohani ini
ada kekuatan yang bermacam-macam, dan kekuatan itu timbul dari pertimbangan
tunduknya kekuatan pada hokum akal. Dia berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan
itu ada 4:
a. hikmah
kebijaksanaan
b. keberanian
c. keperwiraan
d. keadilan
c. Aristoteles ( 394 – 322 SM), dia murid Plato
yang membangun suatu paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi nama dengan
“Peripatetics” karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan, atau karena
ia mengajar di tempat berjalan yang teduh. Dia menyelidiki dalam akhlak dan
mengarangnya. Dan ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia
mengenai segala perbuatannya ialah “bahagia”. Akan tetapi pengertiannya tentang
bahagia lebih luas dan lebih tinggi dari pengikut paham utilitarianism dalam
zaman baru ini. Dan menurut pendapatnya jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan
kekuatan akal pikiran sebaik-baiknya.
Selain itu Aristoteles ialah pencipta teori
serba tengah tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan,
seperti dermawan adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah
tengah-tengah antara membabi buta dan takut.
Setelah Aristoteles
dating “Stoics” dan “Epicuric”. Mereka berbeda penyelidikannya dalam akhlak
“Stoics” berpendirian sebagai paham “Cynics”, dan paham “Stoics” ini diikuti
oleh banyak ahli filsafat di Yunani dan Romawi. Dan pengikutnya yang termasyhur
pada permulaan kerajaan Rome ialah Seneca (6 SM-65 M), dll. Adapun “Epicuric”,
maka mereka mendasarkan pelajarannya menurut pelajaran Cyrenics. Pendiri paham
mereka ialah “Epicuric”.di antara pengikutnya dalam zaman baru ini ialah
“Gassendi” seorang filsafat Perancis (1592-1656).
Pada akhir abad yang ketiga Masehi
tersiarlah kabar Agama Nasrani di Eropa. Agama itu dapat merubah pikiran
manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tercantum di dalam Taurat. Demikan
juga memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan sumber segala akhlak. Tuhan
yang memberi segala patokan yang harus kita pelihara Dalam bentuk perhubungan
kita, dan yang menjelaskan arti baik dan buruk, baik menurut arti yang
sebenarnya ialah kerelaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.[5]
2. Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad
pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan
dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani
serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa
kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan
oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi
penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat
boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh
gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan
seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun demikian sebagai dari kalangan gereja
ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat
ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang Agama
Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di
Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari
perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani. Diantara
merka yang termasyhur ialah Abelard, sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142)
dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia
(1226-1274).
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan
antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula
dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam sebagaimana terlihat
pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.[6]
3.
Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada Zaman Jahiliyah tidak ada
yang menonjol dalam segi filsafat sebagaimana Bangsa Yunani (Socrates, Plato
dan Aristoteles), Tiongkok dan lain-lainnya. Disebabkan karena penyelidikan
akhlak terjadi hanya pada Bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun
demikian, Bangsa Arab waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikwah yang
menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak.
Adapun sebagian syair dari kalangan Bangsa
Arab diantaranya: Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan: ”barang siapa menepati
janji, tidak akan tercela; barang siapa yang membawa hatinya menunjukkan
kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”. Contoh
lainnya, perkataan Amir ibnu Dharb Al-Adwany ”pikiran itu tidur dan nafsu
bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu antara hak dan batil tidak
akan mungkin terjadi dan yang batil itu lebih utama buatnya. Sesungguhnya
penyelesaian akibat kebodohan”.
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum Islam
telah memiliki kadar pemikiran yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan
tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang
tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang
diucapkan oleh filosof-filosof Yunani kuno. Dalam
syariat-syariat mereka tersebut saja sudah ada muatan-muatan akhlak.
Memang sebelum Islam, dikalangan bangsa Arab
belum diketahui adanya para ahli filsafat yang mempunyai aliran-aliran tertentu
seperti yang kita ketahui pada bangsa Yunani, seperti Epicurus, Plato, zinon,
dan Aristoteles, karena penyelidikan secara ilmiah tidak ada, kecuali sesudah
membesarnya perhatian orang terhadap ilmu kenegaraan.[7]
Setelah sinar Islam
memancar, maka berubahlah suasana laksana sinar matahari menghapuskan kegelapan
malam, Bangsa Arab kemudian tampil maju menjadi Bangsa yang unggul di segala
bidang, berkat akhlak karimah yang diajarkan Islam.
Firman
Allah yang mengungkap tentang “Akhlak” yaitu Surat An-Nahl ayat 90:
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [8]
4. Akhlak Periode Abad Modern
Pada abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli
pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga kemudian
berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma
kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih
besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka kritik dan
dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Akhlak yang mereka bangun
didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti
gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada
manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini
menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya
tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan,
dan keadilan social menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya
pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka
menjadi anggota masyarakat yang mandiri.
Ahli filsafat Perancis yaitu Desrates
(1596-1650 M), termasuk pendiri filsafat baru dalam Ilmu Pengetahuan dan
Filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, diantaranya:
1.
Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Dan apa
yang didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebiasaan
saja, wajib di tolak.
2. Di dalam penyelidikan harus kita mulai dari
yang sekecil-kecilnya yang semudah-mudahnya, lalu meningkat kearah yang lebih
banyak susunannya dan lebih dekat pengertiannya, sehingga tercapai tujuan kita.
3. Wajib bagi kita jangan menetapkan sesuatu
hokum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga menyatakannya dengan ujian.
Descartes dan pengikut-pengikutnya suka kepada paham Stoics, dan selalu mempertinggi
mutu pelajarannya sedang Gassendi dan Hobbes dan pengikutnya suka kepada paham
Epicurus dan giat menyiarkan aliran pahamnya.
Kemudian lahir pula Bentham (1748-1832) dan
John Stoart Mill (1806-1873). Keduanya berpindah paham dari faham Epicurus ke
faham Utilitarianim.Setelah keadaannya muncul Green (1836-1882) dan Hebbert
Spencer (1820-19030, keduanya mencocokkan faham pertumbuhan dan peningkatan
atas akhlak sebagaimana yang kita ketahui.
C. Perkembangan Akhlak Dalam Berbagai Ajaran
Agama
a. Akhlak dalam ajaran agama Hindu
Ajaran Hindu berdasarkan kepada Kitab Veda
(1500 SM, disamping mengandung dasar-dasar ketuhanan, juga mengajarkan
prinsip-prinsip etika yang wajib dipegang teguh oleh pengikut. Etika mereka
sandarkan kepada ajaran ketuhanan yang mereka anut yang termaktub dalam kitab
Veda tersebut.
Prinsip tersebut ialah sifat patuh dan
disiplin dalam melaksanakan upacara-upacara ajarannya sebagaimana mestinya.
Manakala seseorang dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna,
dapatlah di pandang sebagai orang yang mencapai derajat kemuliaan yang
sesungguhnya. Sebaliknya barang siapa melalaikan hal tersebut, kurang hati-hati
atau salah dalam mengerjakan upacara keagamaan, maka hal itu berarti dosa dan
sumber terbitnya kejelekan.
Dengan demikian, prinsip etika Hindu ialah
bahwa peraturan ajaran dipandang sebagai sumber segala sumber segala kemuliaan
akhlak manusia.
b. Akhlak dalam ajaran Ibrani
Bangsa Ibrani yang popular dengan nama Bani
Israil, mengaku berdasarkan akhlak mereka kepada ajaran Yahudi yang disandarkan
kepada ajaran Nabi Musa dalam kitab Taurat.
Bani Israil adalah bangsa yang telah
memperoleh nikmat keutamaan dan keunggulan dibandingkan dengan bangsa-bangsa
lain. Dari lingkungan mereka banyak di bangkitkan Rasul dan Nabi, diberikan
kitab dan nikmat, kekuasaan, rizki dan kecerdasan. Tetapi segolongan dari pada
bangsa ini tidak tahu menimbang rasa dan pelupa budi serta tidak syukur atas
nikmat Allah. Bahkan dengan kenikmatan itu mereka menjadi sombong dan angkuh,
merubah kitab suci, dan berbuat kerusuhan di muka bumi.
Sebenarnya mereka telah dibekali dengan prinsip-prinsip
akhlak yang bersumber dari ajaran Allah melalui Rasul-Rasul dan mereka mengakui
dirinya sebagai bangsa yang berakhlak yang berdasarkan ajaran Allah. Tetapi
karena mereka keluar dari garis akhlakul karimah maka Allah menyiksa mereka
dengan penderitaan-penderitaan yang luar biasa, lebih dari yang dialami oleh
bangsa-bangsa lain. Dalam teori mereka mengaku menganut prinsip-prinsip
akhlakul karimah tetapi dalam prakteknya mereka melakukan akhlakul madzmumah.
c. Akhlak dalam ajaran Kong Fu Tse (Konfucius)
Sejak abad ke 5
sebelum Masehi di negeri Tiongkok berkembang suatu ajaran yang berakar pada Lao
Tse yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Kong Fu Tse
(kongfucius) (1551-478 SM). Sebagian orang memandang
ajaran ini didasarkan filsafat dan sebagian memandang bercorak agama.
Menurut Konfucius, tidak ada alternative lain
untuk membangun akhlak yang rusak selain 3 (tiga) perkara:
1. Pergi menyendiri beribadat kepada Tuhan
seperti yang telah diperbuat oleh Lao Tse.
2. Mengundang rakyat menghadiri
pertemuan-pertemuan terbuka dan disana memberikan kursus-kursus akhlak.
3. Membawa diri-sendiri, baik pemerintah
maupun cendekiawan, para pembesar dan diplomat, melaksanakan akhlak yang
setinggi-tingginya dalam kehidupan sehari-hari
Demikianlah konfucius dengan segala
kesanggupannya yang berusaha menarik perhatian ummat ke jurusan undang-undang
umumnya.
d. Akhlak dalam ajaran agama Nasrani (Masehi)
Pada akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama
Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan
membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab taurat dan injil.
Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan
dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di pelihara dan di laksanakan
dalam kehidupan social kemasyarakatan.
Selain itu agama
Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang
terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun
perbuatan. Dengan demikian agama ini menjadikan roh
sebagai kekuasaan terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat
mengalahkan nafsu syahwat. Akibt dari paham akhlak yang demikian itu,
kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi
dunia fana beribadah, Zuhud, dan hidup menyendiri.
e. Akhlak dalam ajaran agama Islam
Ajaran akhlak menurut bentuknya yang sempurna
pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama
Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengikutinya
bahwa Dia-lah Pencipta, Pelindung, Pengasih, Pemberi Rahmat, dan Penyayang
terhadap segala makhluk-Nya.
Selain itu, agama Islam juga mengandung jalan
hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntut umat kepada
kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan semua itu terkandung dalam ajaran Al-Qur’an
yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang di datangkan dari Nabi Muhammad
SAW.
Al-Qur’an adalah
sumber utama dan mata air yang memancarkan agama islam. hukum-hukum Islam yang
mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan
perbuatan yang dapat di jumpai sumber yang aslinya di dalam Al-Qur’an.[9]
BAB III
PENUTUP
Akhlak ialah “kebeiasaan kehendak” yang berarti
bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut
akhlak. Bisa diartikan pula pengertian akhlak
adalah mencakup perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi atau telah
menjadi kebiasaan bagi yang bersangkutan.
Dari pengertian-pengertia diatas dapat disimpulkan bahwa
akhlak ialah perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan
secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai
pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain.
Dalam hal ini perkembangan
akhlak dalam islam dirincikan menjadi 5 dasar yakni: pertama, akhlak dalam
ajaran agama hindu bahwa peraturan
ajaran dipandang sebagai sumber segala sumber segala kemuliaan akhlak manusia.kedua,
akhlak dalam ajaran ibrani menganut prinsip-prinsip akhlakul karimah tetapi
dalam prakteknya mereka melakukan akhlakul madzmumah.ketiga, Akhlak dalam
ajaran Kong Fu Tse konfucius dengan segala kesanggupannya yang berusaha menarik
perhatian ummat ke jurusan undang-undang umumnya. Keempat, Akhlak dalam ajaran
agama Nasrani agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan terhadap diri manusia,
yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat.kelima, mengandung
jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntut umat
kepada kebahagiaan dan kesejahteraan
DAFTAR PUSTAKA
Ardani.2005. Akhlak Tasawuf (Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat
dan Tasawuf).Jakarta: PT Karya Mulia
Mustofa. 2005. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV.
Pustaka Setia
Nata, Abudin.2009. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Solaiman,Abjan.1976.
Ilmu Akhlak (Ilmu Etika),Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat
Zahruddin AR,dkk. 2004.Pengantar Studi Akhlak, Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada
[1] Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf
(Nilai-nilai akhlak/budipekerti dalam ibadat dan tasawuf), (Jakarta: PT
Karya Mulia,2005)hal.34-35.
[2] Abjan Soleiman, Ilmu Akhlak (Ilmu
Etika),(Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat,1976) hal.28.
[9]
http://stiebanten.blogspot.com/2011/10/sejarah-perkembangan-ilmu-akhlak.htm
No comments:
Post a Comment