BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semakin maju suatu
masyarakat, semakin dirasakan pentingnya sekolah dan pendidikan secara teratur
bagi pertumbuhan dan pembinaan anak dan generasi muda pada umumnya. Guru
sebagai seorang tenaga pendidikan yang profesional berbeda pekerjaannya dengan
lain. Karena ia merupakan suatu profesi, dibutuhkan kemampuan dan keahlian khusus
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dan pemaknaan tentang guru?
2. Apa
peranan dan kedudukan guru?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Pemaknaan Tentang Guru
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, guru adalah manusia yang tugasnya (profesinya)
mengajar, sedangkan menurut Vembrianto dalam bukunya Kamus Pendidikan, guru
adalah pendidik profesional di sekolah dengan tugas utama mengajar.
Istilah lain
yang masih berkenaan dengan guru dan berkembang di masyarakat adalah pendidik.
Karena makna pendidik adalah usaha untuk membimbing, mengarahkan, mentransfer
ilmu yang dapat dilakukan secara umum. Akan tetapi, istilah pendidik terdapat
pada lembaga formal, seperti sekolah, madrasah, dan dosen dalam dunia perguruan
tinggi.
Secara istilah,
pendidik adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik,
baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam.
Secara umum,
menurut Ahmad D. Marimba, pendidik diartikan sebagai orang yang memikul
pertanggungjawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan
kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik (peserta didik).
Jelas bahwa
guru itu memiliki peranan yang strategis dan merupakan kunci keberhasilan untuk
mencapai tujuan kelembagaan sekolah, karena guru adalah pengelola KBM bagi para
siswanya. Kegiatan belajar mengajar akan efektif apabila tersedia guru yang
sesuai dengan kebutuhan sekolah baik jumlah, kualifikasi maupun bidang
keahliannya.[1]
B. Peranan dan Kedudukan Guru
Peranan guru di sekolah ditentukan oleh kedudukannya
sebagai orang dewasa, sebagai pengajar dan pendidik dan sebagai pegawai. Yang
paling utama ialah kedudukannya sebagai pengajar dan pendidik, yakni sebagai
guru. Berdasarkan kedudukannya sebagai guru ia harus menunjukkan kelakuan yang
layak bagi guru menurut harapan masyarakat. Guru sebagai pendidik dan pembina
generasi muda harus menjadi teladan, di dalam maupun di luar sekolah. Guru
harus senantiasa sadar akan kedudukannya selama 24 jam. Di mana dan kapan saja
ia akan selalu dipandang sebagai guru yang harus memperlihatkan kelakuan yang
dapat ditiru oleh masyarakat, khususnya oleh anak didik.
Kedudukan guru ditentukan oleh fakta bahwa ia orang
dewasa. Dalam masyarakat kita orang yang lebih tua harus dihormati. Oleh sebab
guru lebih tua daripada muridnya maka berdasarkan usianya ia mempunyai
kedudukan yang harus dihormati, apalagi karena guru juga dip8andang sebagai
pengganti orang tua. Hormat anak terhadap orang tuanya sendiri harus pula
diperlihatkannya terhadap gurunya dan sebaliknya guru harus pula dapat
memandang murid sebagai anak.
Ada anggapan bahwa dewasa ini rasa hormat anak muda
terhadap orang tua makin merosot. Erosi kewibawaan orang tua mungkin disebabkan
oleh peranan generasi muda dalam revolusi kemerdekaan, oleh pengaruh kebudayaan
asing, oleh sikap kritis para pemuda, oleh ketidakmampuan orang tua
mempertahankan kedudukan yang dipegangnya.[2]
Sebagai pegawai kedudukan guru ditentukan oleh
pengalaman kerja, golongan, ijazah, dan lama kerjanya.
1.
Peranan
Guru Sehubungan Dengan Murid
Peranan guru dalam hubungannya dengan murid
bermacam-macam menurut situasi interaksi sosial yang dihadapinya, yakni situasi
formal dalam proses belajar mengajar dalam kelas dan dalam situasi informal.
Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik
dan mengajar anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukkan kewibawaannya,
artinya ia harus mampu mengendalikan , mengatur, dan mengotrol kelakuan anak.
Kalau perlu ia dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak belajar,
melakukan tugasnya dan mematuhi peraturan. Dengan kewibawaan ia menegakkan
disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses belajar-mengajar.
Dalam pendidikan kewibawaan merupakan syarat mutlak.
Mendidik ialah membimbing anak dalam perkembangannya ke arah tujuan pendidikan.
Bimbingan atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan
kepatuhan diperoleh bila pendidik mempunyai kewibawaan. Kewibawaan dan kepatuhan
merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya disiplin.
Adanya kewibawaan guru dapat dipengaruhi oleh beberapa
hal, antara lain :
1) Anak-anak
sendiri mengharapkan guru yang berwibawa, yang dapat bertindak tegas untuk
menciptakan suasana disiplin dan mereka bersedia mengakui kewibawaan itu.
2) Guru
dipandang sebagai pengganti orang tua lebih-lebih pada tingkat SD.
3) Pada
umumnya tiap orang tua mendidik anaknya agar patuh kepada guru.
4) Gurur
sendiri dapat memelihara kewibawaannya dengan menjaga adanya jarak sosial
antara dirinya dengan murid.
5) Wibawa
guru juga diperolehnya dari kekuasaannya untuk menilai ulangan atau ujian murid
dan menentukan angka rapor dan dengan demikian menentukan nasib murid, apakah
ia naik atau tinggal kelas. Murid maupun mahasiswa sangat menyegani pengajar
yang memegang kekuasaan itu. Ada guru yang menyalahgunakan kekuasaan itu dan
diberi julukan “killer”.
6) Namun
kewibawaan yang sejati diperoleh guru berdasarkan kepribadiannya sendiri.
Kepribadian harus dibentuk berkat pengalaman.
Kewibawaan yang sejati tidak diperoleh dengan
penyalahgunaan kekuasaan dengan ancaman akan memberi angka rendah bila guru
merasa ia kurang dihormati. Sekalipun kedudukan sebagai guru telah memberi
kewibawaan formal, namun kewibawaan itu harus lagi didukung oleh kepribadian
guru.
Dalam situasi informal guru dapat mengendorkan
hubunagn formal dan jarak sosial, misalnya sewaktu rekreasi, berolah raga,
berpiknik atau kegiatan lainnya. Murid-murid menyukai guru yang pada
waktu-waktu demikian dapat bergaul dengan lebih akrab dengan mereka, sebagai
manusia terhadap manusia lainnya, dapat tertawa dan bermain lepas dari kedok
formal. Jadi guru hendaknya dapat menyesuaikan peranannya menurut situasi
sosial yang dihadapinya. Akan tetapi bergaul dengan murid secara akrab sebagai
sahabat dalam situasi belajar dalam kelas akan menimbulkan kesulitan disiplin
bagi murid itu sendiri. Dalam masyarakat kita yang banyak sedikit masih
bercorak otoriter mungkin sikap demokratis masih belum dapat dijalankan
sepenuhnya.
Walaupun guru bertindak otoriter dengan menggunakan
wibawanya, namun ia tidak akan dicap sebagai kejam. Guru dapat bertindak tegas
bahkan keras namun dapat menjaga jangan sampai menyinggung perasaan dan harga
diri murid. Ini mungkin selama ia mengecam kesalahan yang dibuat murid agar
diperbaiki tanpa menyentuh pribadi anak itu sendiri. Kebanyakan murid-murid
akan tetap menyukainya dan memandangnya sebagai guru yang baik asal ia selalu
berusaha memahami murid dan bersedia untuk membantunya.
Pada satu pihak guru harus bersikap otoriter, dapat
mengontrol kelakuan murid, dapat menjalankan kekuasaannya untuk menciptakan
suasana disiplin demi tercapainya hasil belajar yang baik dan untuk itu ia
menjaga adanya jarak sosial dengan murid. Di lain pihak ia harus dapat menunjukkan
sikap bersahabat dan dapat bergaul dengan murid dalam suasana yang akrab. Guru
yang berpengalaman dapat menjalankan peranannya menurut situasi sosial yang
dihadapinya. Kegagalan dalam hal ini akan merusak kedudukannya dalam pandangan
murid, kepala sekolah, rekan-rekan guru maupun orang tua murid.
2.
Peranan
Guru Dalam Masyarakat
Peranan guru dalam masyarakat antara lain bergantung
pada gambaran masyarakat tentang kedudukan guru. Kedudukan sosial guru berbeda
dari negara ke negara, dari zaman ke zaman. Pada zaman Hindu, misalnya guru
menduduki tempat yang sangat terhormat sebagai satu-satunya sumber ilmu. Murid
harus datang kepadanya untuk memperoleh ilmu sambil menunjukkan baktinya.
Demikian pula guru-guru silat di Cina sangat dijunjung tinggi oleh murid-muridnya.
Di negara kita kedudukan guru sebelum Perang Dunia II
sangat terhormat karena hanya mereka yang terpilih dapat memasuki lembaga
pendidikan guru. Hingga kini citra tentang guru masih tinggi walaupun sering
menurut yang dicita-citakan yang tidak selalu sejalan dengan kenyataan.
Pekerjaan guru selalu dipandang dalam hubungannya
dengan ideal pembangunan bangsa. Dari guru dihrapakan agar ia manusia
idealistis, namun guru sendiri tak dapat tiada harus menggunakan pekerjaannya
sebagai alat untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Walaaupun demikian
masyarakat tak dapat menerima pekerjaan guru semata-mata sebagai mata
pencaharian belaka sejajar dengan pekerjaan tukang kayu, atau saudagar.
Pekerjaan guru menyangkut pendidikan anak, pembangunan negara dan masa depan
bangsa.
Karena kedudukan yang istimewa itu masyarakat
mempunyai harapan-harapan yang tinggi tentang peranan guru. Harapan-harapan itu
tak dapat dibaikan oleh guru, bahkan dapat menjadi norma yang turut menentukan
kelakuan guru.
Walaupun zaman berubah namun kelakuan guru menyimpang
dari apa yang dianggap sopan selalu mendapat sorotan yang tajam. Guru selalu
diharap agar menjadi teladan bagi anak didik.
Pada umumnya guru tidak menentang harapan-harapan
masyarakat walaupun pada hakikatnya membatasi kebebasan mereka. Gurun sendiri
menerima pembatasan itu sebagai sesuatu yang wajar. Pelanggaran oleh guru juga
akan dikecam oleh rekan-rekannya. Mungkin sekali mereka yang memasuki lembaga
pendidikan guru pada prinsipnya telah menerima norma-norma kelakuan yang
ditentukan oleh masyarakat.
Guru-guru menerima harapan agar mereka menjadi suri
teladan bagi anak-didiknya. Untuk itu guru harus mempunyai moral yang tinggi.
Walaupun demikian ada kesan bahwa kedudukan guru makin merosot dibandingkan
dengan beberapa puluh tahun yang lalu.[3]
3.
Peranan
Guru Dalam Hubungannya Dengan Guru-Guru Lain dan Kepala Sekolah
Sebagai pegawai
negeri dan anggota KORPRI tiap guru harus menaati segala peraturan kepegawaian
dalam melakukan tugasnya. Bagi guru ini berarti bahwa ia harus hadir pada tiap
pelajaran agar jangan merugikan murid. Seorang pegawai administrasi masih dapat
mengejar ketinggalannya dengan mngerjakannya di rumah diluar jam kantor.
Selain peraturan
umum bagi pegawai tiap-tiap sekolah mempunyai peraturan-peraturan khusus tentang
berbagai tugas lain yang harus dilakukan oleh guru seperti membantu
administrasi sekolah, tugas piket, membimbing kegiatan ekstrakurikuler, menjadi
anggota panitia HUT sekolah, menjadi wali kelas, dan lain sebagainya.
Sebagai pengajar
ia harus membuat persiapan, memberi dan memeriksa ulangan, mengabsensi murid,
menghadiri rapat guru, dan sebagainya. Dalam segala tugas kewajiban ia
senantiasa di bawah pengawasan kepala sekolah yang harus memberi konduite yang
baik agar memperoleh kenaikan tingkat. Dengan sendirinya guru akan mematuhi
tiap peraturan dan instruksi dari atasannya.
Berdasarkan
kekuasaan yang dioegang oleh kepala sekolah terbuka kemungkinan baginya untuk
bertindak otoriter. Sikap ini dapat menjelma dalam sikap otoriter guru terhadap
murid. Namun pada umumnya guru menginginkan kepala sekolah yang demokratis yang
mengambil keputusan berdasarkan musyawarah, walaupun dalam situasi tertentu
diinginkan pemimpin yang berani bertindak tegas dengan penuh otoritas.
Guru-guru
cenderung bergaul dengan sesama guru, guru terikat oleh norma-norma menurut
harapan masyarakat yang dapat menjadi hambatan untuk mencari pergaulan dengan
golongan lain yang tidak dibebani oleh tuntutan-tuntutan tentang kelakuan
tertentu. Guru dan sesama guru mudah saling memahami dan dalam pergaulan antara
sesama rekan dapat memelihara kedudukan dan peranannyanya sebagai guru. Itu
sebabnya guru-guru akan membantu kliknya sendiri.
Perkumpulan guru
juga menggambarkan peranan guru. PGRI misalnya bersifat profesional yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sekalipun juga disebut
perbaikan nasib guru, namun guru-guru pada umumnya kurang dapat menerima
perkumpulan guru sebagai serikat buruh. Mengajar dan mendidik sejak dulu
dipandang sebagai profesi kehormatan yang tidak semata-mata ditujukan kepada
keuntungan materiel. Memperjuangkan nasib melalui perkumpulan guru dengan
menonjolkan soal upah bertentangan dengan hati sanubari guru, sekalipun ia
turut merasa kesulitan hidup sehari-hari.
Lagi pula usaha
menggunakan perkumpulan guru sebagai alat memperjuangkan perbaikan nasib
mungkin akan terbendung bila pengurus perkumpulan itu terpilih dari kalangan
kepala sekolah atau mereka yang telah mempunyai kedudukan yang cukup tinggi
karena tidak ingin mendapat teguran dari atasan bila mengadakan aksi yang tidak
berkenan di hati pihak atasan itu. Adanya perkumpulan guru memberi kesempatan
bagi guru untuk lebih mengidentifikasikan dirinya dengan profesinya.[4]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Guru adalah manusia yang tugasnya (profesinya) mengajar, sedangkan
menurut Vembrianto dalam bukunya Kamus Pendidikan, guru adalah pendidik
profesional di sekolah dengan tugas utama mengajar.
Pendidik diartikan sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban
untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya
bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik (peserta didik).
Peran guru, yaitu: pendidik, model, pengajar dan pembimbing,
pelajar, komunikator terhadap masyarakat setempat, pekerja administrasi dan
kesetiaan terhadap lembaga.
Kedudukan guru ditentukan
oleh fakta bahwa ia orang dewasa. Dalam masyarakat kita orang yang lebih tua
harus dihormati. Oleh sebab guru lebih tua daripada muridnya maka berdasarkan
usianya ia mempunyai kedudukan yang harus dihormati, apalagi karena guru juga
dip8andang sebagai pengganti orang tua. Hormat anak terhadap orang tuanya
sendiri harus pula diperlihatkannya terhadap gurunya dan sebaliknya guru harus
pula dapat memandang murid sebagai anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahmud,prof,M.si,2011,Sosiologi Pendidikan, Bandung: CV
Pustaka Setia
Nasution,S,Prof,Dr,MA,2011,Sosiologi Pendidikan,Jakarta:Bumi Aksara
Robinson,philiph,1981,Beberapa Prespektif Sosiologi Pendidikan,Jakarta:CV
Rajawali
Idris,zahara,1992,Pengantar
Pendidikan,Jakarta:PT Gramedia Widya Sarana Indonesia
[1] Prof.Dr.Msi mahmud.sosiologi pendidikan. (2011,bandung: cv
pustaka setia).hal:41-42
[2] Philiph robinson.beberapa prespektif sosiologi pendidikan.(1981.
Jakarta:cv rajawali).hal:189-191
[3]
Prof,Dr.S.Nasution,MA.sosiologi
pendidikan.(2011,Jakarta:Bumi Aksara).hal:91-94
[4] Zahara.Idris.Pengantar Pendidikan.(1992,Jakarta:PT
Gramedia Widia Sarana Indonesia).hal:72
No comments:
Post a Comment