KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang selalu
berkenan melimpahkan taufiq serta hidayah-Nya kepada kita, Dan semoga sholawat
serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Serta keluarganya, para
sahabatnya dan segenap ummatnya.
Dengan terselesaikanya jurnal pendidikan multikultural ini, kami menyampaikan banyak-banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan.
Namun
kami menyadari bahwa pembahasan dalam jurnal ini masih banyak terdapat
kekurangan yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan. Oleh karena itu kepada
para pembaca yang budiman diharapkan atas saran-saran, pendapat dan koreksinya
yang konstruktif. Mudah-mudahan Allah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya
menjadikan jurnal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pernikahan
adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung dalam
memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama manusia
yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih saying. Oleh karena
itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang
disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan pernikahan,
talak, mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan suasana salihah
yang menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara
kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan
ketenangan dan tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih
sayang serta kecintaan diantara suami dan isteri.
Nikah
bisa dimanfaatkan untuk membangun keluarga salihah yang menjadi panutan bagi
masyarakat, suami akan berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga
keluarga, sementara isteri mendidik anak, mengurus rumah dan mengatur
penghasilan, dengan demikian masyarakat akan menjadi benar keadaannya. Allah
berfirman dalam surat al-rum ayat 21.
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “dan diantara tanda-tanta
kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari sejenismu sendiri,
supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antramu
raa kasih da sayang. akamu yang berpikir”.(QS Al-Arum 30: 21)
Setiap
akad pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna dan sah
dapat menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang merupakan
akad yang agung dan penting mempunyai pengaruh yang lebih agung. Terjadinya
akad nikah semata akan menimbulkan beberapa pengaruh, diantaranya hak istri
kepada suami. Dan hak-hak istri yang
wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya adalah mahar. Mahar termasuk
keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan
memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar
kecilnya ditetapkan atas persetujuan
kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para
ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik
secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan
perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mahar
Salah
satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita,
yaitu memberinya dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk
memegang urusannya. Di zaman Jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan
disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya,
dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya.
Lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini, kepadanya diberi mahar.
Kata “Mahar” berasal dari bahasa
Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Hal
ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan
ketika berlangsungnya akad nikah.[1]
Mahar
atau mas kawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan yang merupakan hak si istri.
Pengertian
mahar menurut imam madzhab:
1. Ulama
Hanafiyah berpendapat mahar adalah harta yangmenjadi hak istri dari suaminya
dengan adanya akad atau dukhul
2. Ulama
Malikiyah berpendapat mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai
ganti (imbalan) dari istimta’ (bersenang-senang) dengannya.
3. Ulama
Syafi’iyah berpendapat mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya
akad nikah atau watha’ atau karenamerusakkan kehormatan wanita secara paksa
(memperkosa).
4. Ulama
Hanabilah berpendapat mahar adalah suatu imbalan dalam nikah baik yang
disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaan kedua
belah pihak atau hakim, atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah
seperti watha’ syubhat dan watha’ yang dipaksakan.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang
wajib diberikan oleh seseorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dapat
mengusai seluruh anggota badannya. Jika istri telah menerima maharnya, tanpa
paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima
dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena
malu, atau takut maka tidak halal menerimanya. Allah SWT berfirman:
An-nissa:20-21
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ
زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا
مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ
َأفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang
lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?. Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan imam
malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya wajib. Allah
SWT berfirman :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً
Artinya:
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. (QS.an-Nisa
:4)
Madzhab
Hanafi mendefinisikan sebagai sesuatu yang didapatkan seseorang perempuan
akibat akad pernikahan atau persetubuhan. Mazhab Maliki mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan
persetubuhan dengannya.
B. Syarat-syarat
Mahar
Syarat
mahar non materi yaitu syarat syarat berupa manfaat yang dijadikan mahar
menurut ulama:
1. Syarat
menurut Syafi’iyah. Syaratnya manfaat itu harus mempunyai nilai seperti harta
yang bisa diserah terimakan baik secara konkrit atau secara syari’at, sehingga
tidak sah bila mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek yang mudah dan
menjahit baju sendiri atau manfaat yang diharamkan seperti mengajarkan
al-Qur’an kepada orang kafir dzimmiyang belajar bukan karena masuk Islam.
2. Syarat
menurut Hanbaliyah. Syaratnya manfaat itu harus diketahui dan bisa diambil
imbalannya, seperti menjahit baju istri atau mengajarkan kerajinan tangan
kepada istrinya, jika manfaat itu tidak diketahui secara pasti seperti istri
bekerja kapan saja selama satu bulan, maka hal itu tidak sah, karena manfaat
itu berfungsi sebagai imbalan dalam tukar menukar. Maka tidak sah kalau manfaat
itu tidak diketahui seperti harga dalam jual beli dan sewa-menyewa.
3. Syarat
menurut Malikiyah. Syaratnya manfaat itu harus diketahui dari suatu pekerjaan
yang mempunyai nilai manfaat, seperti pengajaran al-Qur’an.
4. Syarat
menurut Hanafiyah Syaratnya manfaat yang akan dijadikan mahar harus manfaat
yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah
atau menanam sawah dalam waktu tertentu.[2]
C. Macam-macam
Mahar
1. Mahar Musamma
Mahar
musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan
yang disebut dalam redaksi akad. Para ulama
mazhab sepakat bahwa tidak
ada jumlah maksimal dalam mahar, tersebut karena adanya firman Allah [Q.S.4:20]
“Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali.”
Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas
minimalnya. Syafi’i dan Hambali berpendapat
bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Sementara Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah 10 dirham. Kalau
sutau akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan
wajib membayar mahar 10 dirham.
Sedangkan Maliki mengatakan
jumlah minimal mahar adalah 3 dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar
kurangbdari 3 dirham, kemudian terjadi percamouran, maka suami harus membayar 3
dirham, tetapi jika belim di campuri dia boleh memilih antara membayar 3 dirham
(dengan melanjutkan perkawinan) atau menfaskh
akad, lalu membayar separuh mahar musamma.
2.
Mahar Mitsli
Tentang
mahar mitsli, ada beberapa situasi yang diberlakukan padanya yaitu:
a) Para ulama
mazhab
sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu
konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa
(menyebut) mahar, dan bila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar mitsli. Kalau kemudian si istri ditalak
sebelum di campuri, maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus di beri mut’ah.
Hanafi dan Hambali
mengatakan bahwa manakala salah satu di antara mereka meninggal dunia sebelum
terjadi percampuran, maka di tetapkan bahwa si istri berhak atas mahar mitsli secara penuh sebagaimana ketentuan
yang berlaku bila suami telah mencapuri istrinya.Sedangkan Maliki mengatakan bahwa tidak ada keharusan membayar mahar manakala salah
seorang di antara keduanya meningal dunia sebelum terjadi percampuran.
b) Apabila akad di laksanakan dengan
mahar yang tidak sah.
c) Percampuran syubhat, para ulama mazhab sepakat mengharuskan
di bayarkannya mahar mitsli. Yang
dimaksud dengan mencapuri karena syubhat adalah mencampuri seorang wanita yang
sebenarnya tidak berhak di campuri karena ketidak tahuan pelaku bahwasanya
pasangannya itu tidak berhak di campuri. Dengan kata lain yang di sebut syubhat
itu adalah terjadinya percampuran di luar pernikahan yang sah, disebabkan oleh
suatu hal yang dimaafkan oleh syar’i yang melepaskannya dari hukuman had.
d) Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa barang siapa yang memperkosa seorang wanita,
maka dia harus membayar mahar mitsli,
tetapi bila wanita itu bersedia melakukannya (denag rela), maka laki-laki itu
tidak harus membayar mahar apapun.
e) Apabila seorang laki-laki mengawini
seorang wanita dengan syarat tanpa mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki akat tersebut hukunya sah, sedangkan Maliki mengatakan bahwa, akad tersebut
harus dibatalkan sebelum terjadi percampuran, tetapi apabila sudah terjadi
percampuran, akad tersebut di nyatakan sah apabila dengan mahar mitsli.
Menurut Hanafi, mahar mitsli
ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan
suku ibunya. Tetapi menurut Maliki
mahar mitsli ditetapkan berdasarkan
keadaan wanita tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi’i menganalogikan istri dari
anggota keluarga, yaitu istri saudara dan paman, kemudian dengan saudara
perempuan dan seterusnya. Bagi Hambali
halim harus mahar mitsli dengan
menganalogikan dengan wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut,
misalnya ibu dan bibi.
3.
Syarat Mahar
Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot
rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan
atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus
diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global
semisal sepotong emas atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari
berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa akadnya tidak
sah dan di faskh sebelum terjadi
percampuran, tetapi bila telah di campuri, akad dinyatakan sah dengan
menggunakan mahar mitsli. Maliki mengatakan bahwa bila belum terjadi
percampuran akadnya tidak sah. Tetapi bila telah terjadi percampuran maka
akadnya dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar mitsli. Sementara itu, Syafi’i, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa, akad tetap sah, dan si istri berhak
atas mahar mitsli.
DAFTAR
PUSTAKA
[1]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta:
Kencana, 2009), 84.
2 Al-Faqih Abul
Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun,
Jakarta: Pustaka Amina, 1989, hal. 391.
No comments:
Post a Comment