Search makalah

Tuesday, 26 December 2017

MAKALAH PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MASALAH BENTUK MAHAR

KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang selalu berkenan melimpahkan taufiq serta hidayah-Nya kepada kita, Dan semoga sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Serta keluarganya, para sahabatnya dan segenap ummatnya.
           
Dengan terselesaikanya jurnal pendidikan multikultural ini, kami menyampaikan banyak-banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan.
            Namun kami menyadari bahwa pembahasan dalam jurnal ini masih banyak terdapat kekurangan yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan. Oleh karena itu kepada para pembaca yang budiman diharapkan atas saran-saran, pendapat dan koreksinya yang konstruktif. Mudah-mudahan Allah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya menjadikan jurnal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin





 BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung dalam memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih saying. Oleh karena itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, talak, mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan suasana salihah yang menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan ketenangan dan tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara suami dan isteri.
Nikah bisa dimanfaatkan untuk membangun keluarga salihah yang menjadi panutan bagi masyarakat, suami akan berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga keluarga, sementara isteri mendidik anak, mengurus rumah dan mengatur penghasilan, dengan demikian masyarakat akan menjadi benar keadaannya. Allah berfirman dalam surat al-rum ayat 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
 Artinya:dan diantara tanda-tanta kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari sejenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antramu raa kasih da sayang. akamu yang berpikir”.(QS Al-Arum 30: 21)
Setiap akad pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna dan sah dapat menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang merupakan akad yang agung dan penting mempunyai pengaruh yang lebih agung. Terjadinya akad nikah semata akan menimbulkan beberapa pengaruh, diantaranya hak istri kepada  suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.                 Pengertian Mahar
Salah satu dari usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Di zaman Jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini, kepadanya diberi mahar.
Kata “Mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.[1]
Mahar atau mas kawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak si istri.
Pengertian mahar menurut imam madzhab:
1.      Ulama Hanafiyah berpendapat mahar adalah harta yangmenjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul
2.      Ulama Malikiyah berpendapat mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta’ (bersenang-senang) dengannya.
3.      Ulama Syafi’iyah berpendapat mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya akad nikah atau watha’ atau karenamerusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa).
4.      Ulama Hanabilah berpendapat mahar adalah suatu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti watha’ syubhat dan watha’ yang dipaksakan.



Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seseorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dapat mengusai seluruh anggota badannya. Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut maka tidak halal menerimanya. Allah SWT berfirman:
An-nissa:20-21
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ َأفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan imam malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya wajib. Allah SWT berfirman :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً    
Artinya:    
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS.an-Nisa :4)
Madzhab Hanafi mendefinisikan sebagai sesuatu yang didapatkan seseorang perempuan akibat akad pernikahan atau persetubuhan. Mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya.
B.     Syarat-syarat Mahar
Syarat mahar non materi yaitu syarat syarat berupa manfaat yang dijadikan mahar menurut ulama:
1.      Syarat menurut Syafi’iyah. Syaratnya manfaat itu harus mempunyai nilai seperti harta yang bisa diserah terimakan baik secara konkrit atau secara syari’at, sehingga tidak sah bila mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek yang mudah dan menjahit baju sendiri atau manfaat yang diharamkan seperti mengajarkan al-Qur’an kepada orang kafir dzimmiyang belajar bukan karena masuk Islam.
2.      Syarat menurut Hanbaliyah. Syaratnya manfaat itu harus diketahui dan bisa diambil imbalannya, seperti menjahit baju istri atau mengajarkan kerajinan tangan kepada istrinya, jika manfaat itu tidak diketahui secara pasti seperti istri bekerja kapan saja selama satu bulan, maka hal itu tidak sah, karena manfaat itu berfungsi sebagai imbalan dalam tukar menukar. Maka tidak sah kalau manfaat itu tidak diketahui seperti harga dalam jual beli dan sewa-menyewa.
3.      Syarat menurut Malikiyah. Syaratnya manfaat itu harus diketahui dari suatu pekerjaan yang mempunyai nilai manfaat, seperti pengajaran al-Qur’an.
4.      Syarat menurut Hanafiyah Syaratnya manfaat yang akan dijadikan mahar harus manfaat yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.[2]
C.     Macam-macam Mahar
1. Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam redaksi akad. Para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar, tersebut karena adanya firman Allah [Q.S.4:20]
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali.”
Tetapi  mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Sementara  Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah 10 dirham. Kalau sutau akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar  mahar 10 dirham. Sedangkan Maliki mengatakan jumlah minimal mahar adalah 3 dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurangbdari 3 dirham, kemudian terjadi percamouran, maka suami harus membayar 3 dirham, tetapi jika belim di campuri dia boleh memilih antara membayar 3 dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau menfaskh akad, lalu membayar separuh mahar musamma.
2. Mahar Mitsli
Tentang mahar mitsli, ada beberapa situasi yang diberlakukan padanya yaitu:
a)      Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar, dan bila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar mitsli. Kalau kemudian si istri ditalak sebelum di campuri, maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus di beri mut’ah.
Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa manakala salah satu di antara mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka di tetapkan bahwa si istri berhak atas mahar  mitsli secara penuh sebagaimana ketentuan yang berlaku bila suami telah mencapuri istrinya.Sedangkan Maliki mengatakan bahwa tidak ada keharusan membayar mahar manakala salah seorang di antara keduanya meningal dunia sebelum terjadi percampuran.
b)      Apabila akad di laksanakan dengan mahar yang tidak sah.
c)      Percampuran syubhat, para ulama mazhab sepakat mengharuskan di bayarkannya mahar mitsli. Yang dimaksud dengan mencapuri karena syubhat adalah mencampuri seorang wanita yang sebenarnya tidak berhak di campuri karena ketidak tahuan pelaku bahwasanya pasangannya itu tidak berhak di campuri. Dengan kata lain yang di sebut syubhat itu adalah terjadinya percampuran di luar pernikahan yang sah, disebabkan oleh suatu hal yang dimaafkan oleh syar’i yang melepaskannya dari hukuman had.
d)     Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa barang siapa yang memperkosa seorang wanita, maka dia harus membayar mahar mitsli, tetapi bila wanita itu bersedia melakukannya (denag rela), maka laki-laki itu tidak harus membayar mahar apapun.
e)      Apabila seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan syarat tanpa mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki akat tersebut hukunya sah, sedangkan Maliki mengatakan bahwa, akad tersebut harus dibatalkan sebelum terjadi percampuran, tetapi apabila sudah terjadi percampuran, akad tersebut di nyatakan sah apabila dengan mahar mitsli.
Menurut Hanafi, mahar mitsli ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Maliki mahar mitsli ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi’i menganalogikan istri dari anggota keluarga, yaitu istri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan dan seterusnya. Bagi Hambali halim harus mahar mitsli dengan menganalogikan dengan wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi.
3. Syarat Mahar
 Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta      perdagangan atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global semisal sepotong emas atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa akadnya tidak sah dan di faskh sebelum terjadi percampuran, tetapi bila telah di campuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsli. Maliki mengatakan bahwa bila belum terjadi percampuran akadnya tidak sah. Tetapi bila telah terjadi percampuran maka akadnya dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar mitsli. Sementara itu, Syafi’i, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa, akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar mitsli.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2009), 84.

2 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amina, 1989, hal. 391.






[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2009), 84.
[2] Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amina, 1989, hal. 391.

No comments:

cari judul makalah