KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad
saw. yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan surga.
Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Sejarah Peradaban Islam.Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis selanjutnya adalah untuk mengetahui proses pendirian Bani Umayah
Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan
kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan
baik.
Kami menyadari, sebagai seorang
pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu belajar dalam
penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya
makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan
makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan maslahat bagi semua
orang Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya
kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang
berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang
masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah
dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk
pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan yang turun
temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan
mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya
keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran
umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
B. Rumusan Masalah
Ada
pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
2. Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah
3. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
4. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani
Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1. Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses
terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan
tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada
saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam.
Masyarakat
Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi
khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan
masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut.
Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan
kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18
Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap
kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang
paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan
sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang
merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria,
dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai
sekretaris khalifah.
Dalam
suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke
Syam untuk bertemu dengan Muawiyah
dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan
Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan
konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada
pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi
di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan)
dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam)
pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan
kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa
saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang
ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah pengganti
Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus
mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan
mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan.
Muawiyah
mengecam agar tidak mengakui (bai’at)
kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai
terlibat pembunuhan tersebut untuk
dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah
pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam
negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan
pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan
atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga
datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah
mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah,
dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para
shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak
memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat
dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa
khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan
politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh
Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan
ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina
Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan
dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah
mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan
pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada
peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat
khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah
yang dihadapi khalifah.
Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para
gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah.
Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap
masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan
masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di
ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya
seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi
perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu
Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga
sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya
utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin
Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir
melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin
Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat
dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan
segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin
Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan
secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung
menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan
sangat mengenaskan.
Ada
beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain
Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin
Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta
masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan
pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan
yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan
disebabkan karena kelalaian mereka.
1. Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya
khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan
pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij
yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses
penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah
setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk
ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah
Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi
Thalib.
Pengangkatan
Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak
mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya.
Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri
sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
Islam.
Namun
Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah
secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia
lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah
untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali.
Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan –
pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia
melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum
muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu
Sufyan.
Menghadapi
situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan
pihak Muawiyah. Untuk itu maka di
kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam
perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan
kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
1. Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal
kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan
hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari
Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka
masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk
melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun
dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan
khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk
memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama
Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada
Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua
syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi
Syama.
Setelah
kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang
dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis
“Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah
salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan
kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama,
Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses
penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu
tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan
demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin
umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun
Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah,
usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara
defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin
Abi Sufyan.
Dengan
demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang
mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja
Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun
temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah
yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang
menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara
dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur
Sebelumnya.
Namun
perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh
Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein meniolak
melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik
tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan
syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka
Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di
Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri
mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya
dikubur di Karbela.
B. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku
tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan
mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika
mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi
Sufyan).
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya.
Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad.
Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada
abad ke 7 H.
Di
tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai
ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti
Umayyah.
Gaya
dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan
kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan
kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah
diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem
Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.
Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun
temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia
dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di
angkat oleh Allah.
Karena
proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis
dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang
tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41
H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak
baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam.
Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh
khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi
khalifah berikutnya.
Orang
yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661
M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori
proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang
akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas
saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik
intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak
saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi
musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan,
para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama
untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem
pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar
demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain
terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah
juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana
setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi
sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah
kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah
Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60
H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705
M)
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715
M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99
H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720
M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105
H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743
M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
D. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi
yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh
dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur,
Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan
sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota
Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian
dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai
Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan
Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan,
Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi
ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat
Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan
Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi
selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol
dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pada saat itu, pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin
Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan
ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang
Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar
kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga
jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan
keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani
Umayyah
Dinasti
Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam
tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban
Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara
lain:
• Masa kepemimpinan Muawiyah telah
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya di sepanjang jalan.
• Menertibkan angkatan bersenjata.
• Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik,
mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan
tulisan Arab.
• Jabatan khusus bagi seorang Hakim (
Qodli) menjadi profesi sendiri .
• Keberhasilan kholifah Abdul Malik
melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan
memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M)
yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
• Membangun panti-panti untuk orang
cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap
oleh Negara.
• Membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
• Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
• Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu,
Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu
tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka
memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan Al-sunnah).
• Pengembangan di ilmu-ilmu agama,
karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan
berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam.
Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih,
Ilmu Kalam dan Sirah/Tarikh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa
kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak
khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan
pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap
terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya
Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at )
terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti
umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini
sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan
namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan
kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali
yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam
satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah)
tahun 41 H (661 M).
apa
yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar dari pengalaman
masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal berharga untuk melangkah di masa
depan
Islam
merupakan agama yang besar dengan perjalanan sejarah yang panjang. maka dari
itu, marilah kita menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah
Islamiah. Demi menguatkan keteguhan dan rasa kebanggaan hati kita terhadap
agama Islam yang kita peluk ini.
DAFTAR PUSTAKA
• Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009
• Prof. Dr. H.
Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam jilid II, Padang : IAIN-IB Press, 2001
• Dra. Hj. Ismail, Chadijah, sejarah pendidikan
Islam, Padang : IAIN-IB Press, 1999
• Wahid, N. Abbas
dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2009
• Dr. Yatim,Badri,
M. A, Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1993
No comments:
Post a Comment