BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita ketahui bahwa sumber utama
pendidikan Islam adalah kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta
pendapat para sahabat dan ulama atau ilmuan muslim sebagai tambahan. Pendidikan
Islam sebagai sebuah disiplin ilmu harus membuka mata bahwa keadaan
pendidikan yang terjadi saat ini jauh dari apa yang kita harapkan. Kita mengaharapkan bahwa pendidika Islam memberika kontribusi terhadap pendidikan yang terdapat di Indonesia, namun hal tersebut belum terealisaikan dengan maksimal. Salah satu faktor yang menjadi penyebab hal tersebut adalah tidak diterpakannya sebuah prinsip sebagai dasar dalam pendidikan.
Seringkali sebuah prinsip hanya dijadikan sebagai sebuah formalitas saja. Prinsip tidak dijadikan sebagai dasar atau pondasi bagai pencapaian sebuah tujuan. Padahal dalam pencapaian tujuan yang digarapkan dalam pendidikan Islam, keberadaan prinsip-prinsip sangatlah penting dan urgent.
pendidikan yang terjadi saat ini jauh dari apa yang kita harapkan. Kita mengaharapkan bahwa pendidika Islam memberika kontribusi terhadap pendidikan yang terdapat di Indonesia, namun hal tersebut belum terealisaikan dengan maksimal. Salah satu faktor yang menjadi penyebab hal tersebut adalah tidak diterpakannya sebuah prinsip sebagai dasar dalam pendidikan.
Seringkali sebuah prinsip hanya dijadikan sebagai sebuah formalitas saja. Prinsip tidak dijadikan sebagai dasar atau pondasi bagai pencapaian sebuah tujuan. Padahal dalam pencapaian tujuan yang digarapkan dalam pendidikan Islam, keberadaan prinsip-prinsip sangatlah penting dan urgent.
1.2 Rumusan Masalah
ü Bagaimana
pengertian prinsip pendidikan islam?
ü Apa saja
prinsip-prinsip dasar pendidikan islam?
ü Apa saja
prinsip-prinsip pedidikan islam sebagai disiplin ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Prinsip Pendidikan Islam
Prinsip berarati asas atau kebenaran
yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak dan sebagainya. Menurut
Dagobert D. Runes yang di kutip oleh Syamsul Nizar, mengartikan prinsip sebagai
kebenaran yang bersifat universal (universal trith) yang menjadi sifat dari
sesuatu.
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu
kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses
dan kandungan pendidikan tersebut.
Apabila dikaitkan
dengan pendidikan, maka prinsip pendidikan dapat sebagai kebenaran yang universal sifatnya dan menajadi dasar dalam
merumuskan perangkat pendidikan. Prinsip pendidikan diambil dari dasar
pendidikan, baik berupa agama atau ideologi negara yang dianut.
Prinsip pendidikan Islam juga ditegakan di atas dasar yang sama
dan berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya,
manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak. Pandangan islam terhadap masalah-masalah
tersebut, melahirkan berbagai prinsip dalam pendidikan islam.
B. Prinsip-prinsip dasar pendidikan islam
Kesulitan dalam mengemukakan
prinsip-prinsip dasar secara normative ada pada masalahnya yang sering
tercampur dengan hal-hal yang bersifat mikro sehingga para ahli biasanya
berbeda dalam menetapkan mana hal-hal yang termasuk prinsip-prinsip dasar itu.
Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan
islam banyak tertuang di dalam ata-ayat al quran dan hadits Nabi. Dalam hal ini
akan dikemukakan ayat-ayat atau hadits-hasits yang dapat mewakili dan
mengandung ide tentang prinsip-prinsip dasar tersebut dengan asumsi dasar,
seperti yang dikatakan oleh al Nahlawiy[1]bahwa
pendidik sejati atau maha pendidik itu adalah Allah yang telah menciptakan
fitroh manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum-hukum
pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Prinsip integrasi
Suatu prinsip yang harus dianut adalah
bahwa duna ini merupakan jembatan menuju kampong akhirat. kerena itu,
mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tdak dapat dielakkan agar
masa hidup di dunia ni benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke
akhirat. Persiapan-persiapan merupakan kegiatan yang layak di dunia. Prilaku
yang teridik dan nukmat tuhan apapun yang di dapat dalam kehidupan harus
diabadikan untuk mencapai kelayakan-kelayakan itu terutama dengan mematuhi
kemauan tuhan. Disinilah letak pentngnya kebiasaan diri secara utuh hingga
dapat mengendaikannya supaya setiap perilaku seseuai dengan keingina tuhan
untuk kesejahteraan hidupnnya sendiri, sesame manusia, dan lingkungannya.
77. Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash: 77).
Ayat tersebut menunjukkan kepada prinsip
integrasi, dimana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah,
yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada tuhan. Keselamatan hanya akan
dicari dengan menumbuhkan diri dengan menumbuhkan diri sesuai dengan fitrahnya
yang baik itu, sebaliknya kegagalan akan didapat ketika fitrahnya diselewengkan
kea rah yang negative.
(7). dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), (8). Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (9).
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (10). dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Al-syam: 7-10).
Dalam kaitan itu terdapat ayat yang memerintahkan
agar manusia tidak mengembangkan dirinya secara persial atau setengah-setengah,
pengembangannya harus terintegrasi sehingga akan mencapai hasil yang
diinginkan.
. Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-baqarah: 208).
Dari sini terdapat syarat bahwa manusia
berkewjiban menumbuhkan kesadaran akan kedudukannya sebagai makhluk mulia yang
mau tidak mau berkewajiban membentuk dirinya dimana dengan demikian dapat
memainkan peranannya sebagai pewaris bumi ini.
2. Prinsip Keseimbangan
Karena ada prinsip integrasi, maka
prinsip keseimbangan merupaka kesemestian hingga dalam pengembangan dan
pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan. Pertam adalah
keseimbangan antara material dan spiritual, unsure jasmani dan rohani. Pada
banyak ayat dalam al-quran Allah menebutkan iman dan amal secara bersamaan.
Iman adalah unsure yang menyangkut dengan hal spiritual, sedangkan amal atau
karya adalah yang menyangkut dengan material, yakni unsure jasmani. “demi masa,
sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal
saleh..,” (QS. Al-Ashr: 1-3). Tidak kurang dari67 ayat yang menyebutkan iman
dan amal secara bersamaan, secara implicit menggambarkan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. “ Siapa yang beramal berupa karya yang saleh, sedangkan ia
dalam keadaan beriman maka usahanya tidak akan di sia-siakan dan kami mencatat
semuanya.” (QS. Al-Anbya’: 94).
Disamping itu, walaupun manusia telah
sampai ketingkat pengalaman spiritual puncak berada di hadapan Tuhan, namun
unsure material tetap di pelihara, dan Allah tetap mengingatkan tentang hal
itu. Umpamanya, dan riwayat nabi musa As yang terdapat dalam Al-quran, dimana
Allah mengingatkan Nabi Musa As. Kepada hal yang bersifat material ketika ia
berada dipuncak pengalaman spiritualnya berhadapan dengan hadirat Allah, yakni
mengingatkan tongkat yang ada di tangannya. (QS. Taha: 9-24). Nabi pun
mengingatkan ibnu Amr ra. Yang diketahui bahwa ia selalu bangun sepanjang
malamuntuk sholat dan puasa sepnjang hari dalam Hadits ”Sesungguhnya dirimu
mrmpunyai hak, dan keuargamu mempunyai hak atas dirimu, maka puasa dan
berbukalah, bangun dan tidurlah,.(HR. Al-Bukhori). Karena itu pencapaian pengalaman spiritual dan
pemeliharaan dan pengembangan unsure material haruslah berjalan seimbang.
Seorang muslim wajib mencari ilmu sebagai bekal untuk berbuat
dan hal-hal yang bersifat praktik. Beramal dan berpraktik harus sudah dimulai
sejak dini seperti juga pengetahuan yang diberikan melalui keteladanan dari
pendidik dan keluarga di lingkungannya. Seorang anak harus sudah diajarkan dan
melaksanakan sholat pada saat usia 7 tahun “ suruhlah anak-anakmu mengerjakan
sholat ketika telah berumur 7 tahun…”(HR. Ahmad Abu Daud dan al Hakim). Dengan
demikian keseimbangan antara teori dan praktik mesti diperhatikan dan merupakan
prinsip keseimbangan dari segi lain. Aspek lain dari prinsip keseimbangan ini
adalah prinsip pengembangan dan pembinaan masyarakat sebagai individu dan
anggota masyarakat.
3. Prinsip Persamaan
Prinsip berikutnya
adalah prinsip persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar manusia yang
mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan drajat, baik antara jens klamin,
kedudukan social, bangsa, suku, ras,
atau warna kulit, sehingga budak sekalipun mendapat hak yang sama dalam
pendidikan.” Siapapun siantara seorang laki-laki yang mempunyai seorang budak
perempuan, lalu diajar dan di didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik,
kemudian di merdekakannya lalu dikawininya, maka (laki-laki) itu mendapat dus
pahala (HR. Al-Bkhori). Seperti dikeahui bahwa budak perempuan merupakan status
manusia ter rendah pada masyarakat arab pra-islam. Dengan hadits ini Rasulullah
mengangkat derajtnya menjadi sama dengan manusia yang lainnya, khususnya dalam
bidang pendidikan. Persamaan hak dalam pendidikan dengan demikian, merupakan
suatu prinsip yang mempunyai dasar yang kukuh karena di dasarkan kepada
persamaan asasi tentang hakikat dan keberadaan manusia di permukaan bumi.
4. Prinsip Pendidkan Seumur Hidup
Sebenarnya prinsip ini bukanlah
merupakan suatu hal yang baru. Di kalangan umat islam. Ungkapan seperti
“tunutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang kubur” dan “tuntutlah ilmu
walaupun ke negeri cina” merupakan pepatah yang cukup popular sejak prioe
islam. Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan
dasar manusia dalam kaitan keterbatasan
manusia dimana manusia sepanjang hidupnya di hadapkan dengan berbagai tantangan
dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri kejurang kehinaan. Dalam
hal ini manusia dituntut untuk selalu membimbing dirinya sendiri agar selalu
terhindr dari kehinaan tersebut. Dengan demikian, manusia dituntut menjadi
pendidik bagi dirinya sendiri yang berarti pula manusia akan selalu dapat
memperbaiki dan meningkatkan kualitas dirinya sepanjang hayatnya serta
menyesali segala perbuatan yang menyimpang dari jalan lurus Tuhan mereka.
Sisi lain
dari prinsip pendidikan seumur hidup adalah dalam kaitan ilmu yang maha luas.
Karena ilmu luas tanpa batas maka manusia tidak akan pernah selesai mencari dan
menemukan ilmu sementara dipihak lain ada perintah atau kewajiban menuntut
ilmu, dan Prinsip pendidikan seumur hidup
merupakan jalan yang bisa menclearkannya.
5. Prinsip Keutamaan
Prinsip yang terakhir adalah prinsip
keutamaan (al-fadlilah). Keutamaan
merupakan inti dari segala kegiatan pendidikan. Dengan prinsip ini ditegaskan
bahwa pensisikan bukanlah sekedar proses mekanik melainkan merupakan proses yang
mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada
keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai-nila
moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid, seangkan nilai moral yang
paling buruk adalah syirik.
Dengan prinsip
keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi
subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan
perlakuan dan keteladanan-keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut.”
Hargailah anak-anakmu dan bakkanlah budi pekerti mereka”, (HR. al-Nasa’iy).
Berdasarkan apa
yang telah dikemukakan di atas, maka prinsip-prinsip pendidikan yang yang telah
disebutkan adalah sebagai berikut: (1) integrasi, (2) keseimbangan, (3)
persamaan, (4) pendidikan seumur hidup, (5) keutamaan. Tentunya, banyak lagi
prinsip-prinsip yang dapat dijadikan dasar pendidikan, akan tetapi seperti
telah dikemukakan untuk menetapkan prinsip-prinsip yang lebih rinci mestilah
akan mengikuti alur pemikiran mikro, dan hal tersebut akan menimbulkan banyak
keragaman. Contoh prinsip-prinsip yang bersifat mikro yang dimasukkan oleh
sebagian ahli pendidikan islam adalah prinsip-prinsip psikologik seperti
komunikasi yang baik, keanekaan metode, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip seperti
itu akan tentu berkembang sepanjang perjalanan sejarah dan hal ini tidak
sejalan dengan analisis makro yang dilakukan yang pada gilirannya akan
mempersulit menemukan konsep umum komunikatifdalam kerangka pikir
sosio-historis. Namun, hal itu akan dapat dipahami sejauh perkembangan
aktualisasi yang pernah terjadi dalam sejarahnya.[2]
Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa sumber utama pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu
adalah kitab suci Alquran dan Sunah Rosulullah saw. Serta pendapat para sahabat
dan ulama atau ilmuwan muslim sebagai tambahan.
Sebagai disiplin
ilmu, pendidikan Islam bertugas pokok mengilmiahkan wawasan atau pandangan
tentang kependidikan yang terdapat di dalam sumber-sumber pokok dengan bantuan
dari pendapat para sahabat dan ulama atau ilmuwan muslim. Dalam sumber-sumber
pokok itu terdapat bahan-bahan fundamental yang mengandung nilai kependidikan
atau implikasi-implikasi kependidikan yang masih berserakan. Untuk dibentuk
suatu ilmu pendidikan islam, bahan tersebut perlu disistematisasikan dan
diteorisasikan sesuai dengan kaidah (norma-norma) yang ditetapkan dalam dunia
pengetahuan.
Dunia ilmu
pengetahuan yang akademik telah menetapkan norma-noram, syarat-syarat, dan
kriteria-kriteria oleh suatu ilmu yang ilmiah. Persyaratan keilmuan yang
ditetapkanitu tampak bersifat sekuler, dalam arti bahwa mengilmiahkan suatu
pandangan atau konsep dalam banyak seginya, yang melibatkan nilai-nilai
ketuhanan dipandang tidak rasional dan logis. Nilai-nilai ketuhanan berada
diatas nilai keilmiahan dan pengetahuan. Agama adalah bukan ilmu pengetahuan, karena bukan ciptaan
budaya manusia. Agama adalah wahyu tuhan yang diturunkan kepada umat manusia
melalui rasul-rasulnya untuk dijadikan pedoman hidup yang harus diyakini
kebenarannya.
Ilmu penegtahuan
pendidikan Islam pada khususnya tersusun dari konsep-konsep dan teori-teori
yang disistematisasikan menjadi suatu kebulatan yang terdiri dari
komponen-komponen yang satu sama lain saling berkaitan.
Teori tersebut
dijadikan pedoman untuk melaksanakan proses kependidikan Islam itu. Antara
teori dengan proses operasionalisasi saling berkait, yang satu sama lain saling
menunjang bahkan saling memperkokoh.
Sebagai suatu
disiplin ilmu, pendidikan Islam merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep
intelektual yang tersusun dan diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan.
Jadi, mengalami dan mengetahui merupakan pengokoh awal dari konseptualisasi
manusia yg berlanjut kepada terbentuknya ilmu pengutahuan itu. Untuk itu Nabi
Adam as. Diajarkan nama – nama benda terlebih dahulu sebagai dasar konseptual
bagi pembentuknya ilmu pengetahuannya.
Dengan kata lain,
ilmu pendidikan islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yg dialogis dengan
pengalaman empiris yg terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah menjadi
teori yg valid yg menjadi tempat berpijaknya suatu ilmu pengetahuan ilmiah.
Dengan demikian, ilmu pendidikan Islam dapat di bedakan antara ilmu pendidikan
teoritis dan ilmu pendidikan praktis. Justru IPI menuntut adanya teori yang
dijadikan pedoman operasional dalam lapangan praktik pendidikan.
Pengetahuan tentang
apa, bagaimana, dan sejauh mana pandangan Islam tentang kependidikan yang
bersumberkan Alquran, dapat kita jadikan bahan untuk merumuskan konsepsi pendidikan
Islam teoretis dan praktis yang dilaksanakan (flexible) dalam lapangan
operasional.
Ada tiga komponen
dasar yang harus dibahas dalam teori pendidikan islam yang pada gilirannya
dapat dibuktikan validitasnya dalam operasionalisasi, yaitu:
1.
Tujuan pendidikan Islam harus dirumuskan dan ditetapkan
secara jelas dan sama bagi seluruh umat islam sehingga bersifat universal.
Tujuan pendidikan islam adalah yang asasi karena ia sebegitu jauh menentukan
corak metode dan materi (content) pendidikan islam. Metode dan content itu
bukanlah kurang pentingnya, karena antara tiga komponen tersebut saling
berkaitan dalam proses pencapaian tujuan islam. Meskipun tujuan pendidikan itu
beridealitas tinggi, namun bila metode dan materinya tidak memadai, maka proses
kependidikan tersebut akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, suatu tujuan
pendidikan tidak akan dapat berwujud dalam suatu proses yang kedap metode dan
content. Jika pendidikan islam menetapkan tujuan yang berbeda-beda menurut
idealitas kultural masyarakat masing-masing, maka manusia ideal menurut citra
islam yang bernilai universal tak akan dapat mencerminkan hakikat islam, akan
kualitas moral dan ideal yang berbeda-beda pula. Padahal Isalamic way of life telah
ditetapkan oleh ajaran Alquran dimana ilmu pendidikan islam harus mengacu
kepadanya.
Tujuan
pendidikan islam yang universal itu telah dirumuskan dalam seminar Pendidikan
Islam su-Dunia di Islamabad pada tahun 1980 yang disepakati oleh seluruh ulama
ahli pendidikan Islam di negara-negara Islam. Rumusan tersebut mencerminkan
idealitas Islami seperti terkandung didalam Alquran. Sebagai esensinya tujuan
pendidikan Islam yang sejalan dengan tuntutan Alquran itu tidak lain adalh
sikap penyerahan diri secara total kepada Allah SWT, yang telah kita ikrarkan dalam
shalat sehari-hari.
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-An’aam: 162)
Dengan
demikian, kita tidak menghendaki rumusan-rumusan lain yang ditetapkan oleh para
ahli pikir yang orientasinya tidak mengacu pada petunjuk Alquran. Bagi umat
Islam, Alquran adalah kriteria dasar yang dipakai untuk menetapkan segala hal
yang bercorak islami.
2.
Metode pendidikan islam yang kita ciptakan harus
berfungsi secara efektif dalam proses pencapaian tujuan pendidikan islam itu.
Komprehensivitas daripada tujuan pendidikan itu harus paralel dengan
keanekaragaman metode, mulai dari metode verbalistik-simbolisme sampai kepada
berinteraksi langsung dengan situasi belajar mengajar, misalnya kegiatan
belajar dengan berdiskusi atau soal-jawab dengan guru.
Metode yang
dipakai dalam proses kependidikan islam bertumpu dalam paedosentrisme, dimana
kemampuan fitrah manusia dijadikan pusat proses kependidikan. Sebagai
ilustrasi, metode pendidikan yang diterapkan oleh Ibnu Sina di rumah sakit
Muristan secara learning team yang
bertingkat menurut kemampuan yang seragam. Metode ini adalah learning by going dalam ilmu kedokteran.
Bila tim pertama yang ditugaskan untuk menyelesaikan studi tentang jenis
penyakit besrta pengobatannya gagal, maka tim pertama menyerahkan kepada tim
kedua, berturut-turt kepada tim berikutnya. Bila semua tim-tim itu tidak dapat
mengerjakan secara tuntas tugas yang diberikan, barulah Ibnu Sina turun tangan,
menunjuk atau mengajarkan ilmu pengetahuan yang berkaitan disertai praktik
sekaligus. Metode demikian mendorong anak didik untuk melakukan problem solving dengan cara trial and error yang semakin
meningkatkan penegtahuan mereka ke arah penemuan validitas pengetahuannya. Guru
mengesahkan dan men-tahqiq-kannya
pada daur terakhir.
Metode islami
atau Alqurani al-hikmah dan maukizhah al-hasanah serta mujadalah yang paling baik, menuntut kepada pendidik
untuk berorientasi kepada educational
needs dari anak didik, dimana faktor human
nature yang potensial tiap pribadi anak dijadikan sentrum proses
kependidikan sampai kepada batas maksimal perkembangannya. Misalnya, mengajar
sesuai dengan tingkat kemampuan kejiwaannya, memberi contoh teladan yang baik,
mendorong kretivitas dalam berpikir, menciptakan suasana belajar-mengajar yang favorable, (di waktu marah, atau sesak
dada guru tidak boleh mengajar), dan lain-lain metode yang dipraktikkan oleh
para ulama, guru, ahli pikir, filsuf islam yang dapat kita pelajari dalam
sejarah pendidikan islam.
3.
Irama gerak yang harmonis antara metode dan tujuan
pendidikan dalam proses akan mengalami vakum bila tanpa kehadiran nilai atau
ide. Oleh karena itu, content pendidikan islam menjadi conditiosine qua non dalam proses
tersebut. Secara prinsipal content yang
diwujudkan sebagai kurikulum, mengandung makna sebagai petunjuk (baik bagi guru
maupun murid) kearah pengembangan kualitas hidup manusia selaku khalifah diatas bumi, yang memiliki
kepribadian yang utuh dalam hidup mental-rohaniah (iman dan taqwa) dan
material-jasmaniah (kemampuan jasmaniah yang tinggi) yang seimbang dan serasi.
Konsepsi
Alquran tentang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan antara ilmu pengetahuan
dan umum. Kedua jenis ilmu pengetahuan itu merupakan suatu kesatuan yang tak
dapat dipisah-pisahkan, karena semua ilmu adalah merupakan manifestasi dari
ilmu pengetahuan yang satu, yaitu ilmu pengetahuan Allah. Oleh karena itu,
dalam islam tidak dikenal adanya ilmu penegtahuan yang religius dan nonreligius
(sekuler).
Firman-firman
Allah yang menunjukkan bahwa semua ilmu pengetahuan berasal dari Allah ialah
seperti tercantum dalam surat Ar-Rahman ayat 1-4 (Allah mengajrkan Alquran dan
bahasa), Al-Baqarah ayat 31 (mengajarkan nama-nama benda dan segala sesuatu),
Al-‘Alaq ayat 4-5 (mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak diketahui),
Al-Baqarah ayat 282 (Allah mengajarkan administrasi dan pembukuan uang), Allah
mengajarkan tentang bagaimana berpikir, mengamati, dan merenungkan gejala
alamiah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam dan sebagainya
dalam banyak ayat-ayat Alquran.
Klasifikasi
ilmu pengetahuan yang ditetapkan oleh para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu
Khaldun, dan Ibnu Sina menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan Islam, baik yang
paling eksternal sekalipun memiliki ciri sakral, selama ilmu itu setia kepada
prinsip-prinsip kewahyuan karena semua ilmu pengetahuan bersumber dari firman
Allah SWT, seperti yang dinyatakan dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada
Rosulullah dalam Surah AL-A’laq ayat 1-5 (Sayyyid Hosein Nasr, 1970,p.64).
Al-Farabi
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi ilmu bahasa, ilmu logika, ilmu
pengetahuan tingkat persiapan, ilmu alam, metafisika, ilmu kemasyarakatan,
beserta perincian masing-masing. Sedangkan Ibnu Khaldun juga mengklasifikasikan
sains islami itu menjadi sains filosofis beserta perinciannya, dan sains yang
ditransmisikan beserta perinciannya (yang berupa ilmu-ilmu agama). Perincian
sains tersebut dapat dilihat dalam buku Science
and Civilization in Islam. (Sayyid Hosein Nasr,p.60-64). Fahruddin Al-Razi
(pada abad ke-12 M) dalam buku karyanyaThe
Book of Sixty Sciences (terj.) mengembangkan sains tersebut menjadi enam
puluh jenis.
Dalam klasifikasi sains dari para
ahli pikir muslim diatas, tidak dapat didiskriminasi antara ilmu yang religius dan ilmu
yang sekuler, semuanya merupakan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari oleh umat
islam. Dengan demikian content
(kurikulum) pendidikan Islam harus mencerminkan jenis-jenis sains yang
dibutuhkan oleh manusia muslim untuk menunjang tugas sebagai mandataris Tuhan diatas bumi.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka
pendidikan islam sebagai disiplin ilmu telah mempunyai modal besar yang
potensialuntuk dikembangkan sehingga mampu berperan di jantung masyarakat
dinamis masa kini dan mendatang. Pendidikan islam saat ini masih berada pada
garis marginal masyarakat, belum memegang peran sentral dalam proses
pembudayaan umat manusia dalam arti sepenuhnya. Untuk itu ilmu pendidikan islam
yang menjadi pedoman operasionalisasi pendidikan islam perlu dikembangkan
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam dunia akademik, yaitu sebagai
berikut.
1) Memiliki objek pembahasan yang jelas dan
khas pendidikan yang islami meskipun memerlukan ilmu penunjang dari yang
nonislami.
2) Mempunyai wawasan, pandangan, asumsi,
hipotesisi, serta teori dalam lingkup kependidikan yang islami yang
bersumberkan ajaran islam.
3) Memilki metode analisis yang relevan
dengan kebutuhan perkembangan ilmu pendidikan yang berdasarkan islam, beserta
sistem pendekatan yang seirama dengan corak keislaman sebagai kultur dan
revilasi.
4) Memiliki struktur keilmuan yang
sistematis mengandung totalitas yang tersusun dari komponen-komponen yang
saling mengembangkan satu sama lain dan menunjukkan kemandiriannya sebagai ilmu
yang bulat.
Oleh
karena itu, suatu ilmu yang ilmiah harus bertumpu pada adanya teori-teori, maka
teori-teori pendidikan islam juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1.
Teori harus menetapkan adanya hubungan antara fakta yang
ada.
2.
Teori harus mengembangkan sistem klasifikasi dan struktur
dari konsep-konsep, karena alam kita tidak menyediakan sistem siap pakai untuk
itu.
3.
Teori harus mengihtisarkan sebagai fakta,
kejadian-kejadian, oleh karenanya maka sebuah teori harus dapat menjelaskan
sejumlah besar fakta.
4.
Teori harus dapat meramalkan fakta atau kejadian-kejadian
karena tugas sebuah teori adalah meramalkan kejadian-kejadian yang belum
terjadi.
Sebagai contoh,
antara lain dapat dikemukakan adanya peristiwa yang menunjukkan adanya murid
sekolah yang tidak tertarik kepada bidang studi agama. Untuk mengatasi hal
tersebut, guru agama mencari teori yang dapat memberitahukan tentang cara yang
efektif dalam proses belajar mengajar bidang studi agama yang menarik minat
murid, misalnya dengan cara mengaitkan ajaran agama dengan kebutuhan hidup
murid sehari-hari serta pengalamannya, seirama dengan tingkat perkembangan
hidup kejiwaannya. Maka pelajaran agama baru dapat menarik minat murid bila
dikaitkan dengan problema hidup remaja masa kini, misalnya dalam kaitannya
dangan kehidupan seksual, dengan keterampilan kerja dan diorentasikan kepada
perkembangan ilmu dan teknologi masa kini.
Adapun corak teoritis dari ilmu pendidikan
islam itu hendaknya disusun secara sistematis yang well-organized, yang mampu memberikan deskripsi tentang adanya
fakta dari pengalaman operasional dalam bentuk pengertian sesederhana mungkin.
(Gilbert Sax,1968, p. 15-16)
Permasalahan urgen yang terdapat dalam ilmu pendidikan
islam, yaitu sebagai berikut.
1)
Bagaiman seharusnya pendidikan islam dapat menjawab
tantangan kebutuhan pendidikan generasi muda bagi kehidupannya dimasa depan
secara sistematis berencana, mengingat ciri khas agama islam adalah bersifat
aspiratif dan kondusif kepada kebutuhan hidup sesuai dengan human nature (fitrah).
2)
Bagaimana agar pendidikan islam mampu mendasari kehidupan
generasi muda dengan iman dan takwa dan berilmu pengetahuan yang sekaligus
dapat memotivasi daya kreativitasnya dalam kegiatan pengemban dan pengamalan
ilmu pengetahuan tersebut sejalan dengan tuntutan Alquran.
3)
Bagaiman pendidikan islam sebagai disiplin ilmu dapat
melestarikan dan memajukan tradisi dan budaya moral yang islamic-ethnic dalam komunikasi sosial dan interpersonal dalam
masyarakat yang semakin industrial-teknologis.
4)
Bagaimana agar pendidikan islam tetap mampu berkembang
dalam jalur input invironmental di
lembaga pendidikan dalam proses pencapaian tujuan akhirnya, baik dalam upaya
membentuk pribadi, maupun anggota masyarakat dan warga negara yang berkualitas
baik.
Semboyan yang
menjadi etos kerja kita antara lain adalah firman Allah yang mengatakan:
Sesungguhnya Allah tidak merobah
Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.
BAB
III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari pemaparan dia atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa ilmu pendidikan islam sebagai sebuah disiplin ilmu harus
senantiasa berpegang kepada prinsip-prinsip pendidikan islam yang bersumber
dari al-Qur’an, hadist, ijma dan qiyas. Hal itu disebabkan, karean apabila
sebuah disiplin ilmu tidak memilki prinsip khsusuya prinsip pendidikan Islam
tersebut, maka dikahawatirkan akan terjadinya sekularisasi dan liberalisasi
pendidikan.
Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu
juga harus senantiasa mampu mengilmiahkan wawasan atau pandangan tentang
kependidikan yang terdapat di dalam sumber-sumber pokoknya dengan bantuan dari
pendapat para sahabat dan ulama/ilmuwan muslim. Oleh karenanya kita sebagai
insan akademika yang terdapat dalam sebuah lembaga pendidikan harus lebih
mengoptimalkan daya fikir dan mental untuk menatap pendidikan ke depan yang
lebih maju.
DAFTAR PUSTAKA
Hitami, Munzir. 2004. Mengonsep
kembali pendidikan islam. Yogyakarta: Infiite Press.
Arifin, H.M, 2000 . Kapita Selekta
Pendidikan (Islam & Umum). Jakarta:
Bumi Aksara.
Arifin, Muzayyin. 2003. Kapita Selekta Penddikan Islam. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
[1] Abd
al-Rahm al-Nahlawiy. Usbul al-hadlarat al-islamiyyah wa asalibuha.
(damaskus: dara al-fikr, 1979.) hlm. 13.
No comments:
Post a Comment