BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan
merupakan suatu hubungan yang mengikat seorang laki-laki dengan seorang
perempuan melalui akad untuk membina rumah tangga.Dengan adanya hubungan
tersebut, maka dihalalkan bagi laki dan perempuan tersebut untuk melakukan
segala sesuatu, termasuk hubungan intim yang pada mulanya dilarang ketika masih
belum ada ikatan perkawinan,sehingga bisa memperoleh keturunan yang baik.
Dalam proses perjalanan membinarumah tangga tersebut, tidak jarang terjadi perselisihan (syiqaq) di antara suami istri dikarenakn suatu hal tertentu yang memicu keretakan rumah tangga.Percekcokan dan permusuhan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami istri akan menimbulkan keretakan rumah tangga yang berujung pada tombak perceraian.
Ada
beberapa hal yang harus kita ketahui dalam menghadapi dan menyelesaikan
perselisihan ini untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya perceraian, salah
satunya dengan mengadakan hakamain sebagai mediator untukmenengahi suami-istri
agar bisa bersatu kembali dalam membina rumah tangga. Nah, untuk selebihnya
kami akan membahas mengenai apa itu syiqaq (perselisihan) dn bagaimana cara
penyelesaiannya, termasuk diadakannya hakamain ini secara lebih detail pada bab
Pembahasan.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
isi surat an-Nisa’ ayat 34-35 ?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan syiqaq ?
3.
Bagaimana
cara penyelesaian syiqaq yang terjadi dalam rumah tangga ?
4.
Apa
yang dimaksud dengan hakamain ?
5.
Bagaimana
posisi dan peran kedudukan hakamain dalam menyelesaikan syiqaq yang terjadi
dalam suatu rumah tangga tertentu ?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui bagaimana isi surat an-Nisa’ ayat 34-35.
2.
Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan syiqaq.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana cara penyelesaian syiqaq yang terjadi dalam rumah tangga.
4.
Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan hakamain.
5.
Untuk
mengetahui posisi dan peran hakamain
dalam menyelesaikan syiqaq yang terjadi dalam suatu rumah tangga tertentu.
6.
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SURAT AN-NISA’ AYAT 34-35
Pembahasan tentang nusyuz dan syiqaq serta
cara menghadapinya dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 34-35 adalah
sebagai berikut:
الِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَآ أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَلنِتَاتٌ حَفِظَاتٌ
لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَالّاتِ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ
فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَاتَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلَا إنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيْرًا ﴿۳۴﴾وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا
مِّنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيْدَآ إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَآ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا ﴿۳۵﴾
Artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, serta
pukullah mereka.Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar. Jika kamu khawtirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari kelurga
wanita. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.An-Nisa’: 34-35)[1].
B. PENGERTIAN NUSYUZ DAN SYIQAQ SERTA CARA MENGHADAPINYA
1.
Nusyuz
Nusyuz
pada asalnya berarti “terangkat” atau tertinggi. Seorang perempuan yang keluar
meninggalkan rumah dan tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan
menganggap ia lebih tinggi dari suaminya, singkat kata yaitu istri yang durhaka
pada suaminya.[2]
Menurut
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang istri
melakukan perbuatan yang menentang suaminya tanpa alasan yang dapat diterima
oleh syara[3]’.
Jadi,
Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan
tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti
keluar rumah tanpa izin suaminya.Oleh karenanya, seorang istri tidak masuk
dalam katagori nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang
tidak diwajibkan pada seorang istri. Maka, jika ia tidak melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan
dengan kebutuhan biologis seperti: menyapu, menjahit, memasak dan selainnya,
walaupun menyiapkan air minum dan menyiapkan tempat tidur semua itu tidak masuk
katagori nusyuz[4].
Dalam
surat An-Nisa’ ayat 34 tersebut di atas ada kata “takut nusyuz”, menurut
sebagian ulama’, maksud dari “takut nusyuz pada ayat tersebut adalah jika
diketahuinya dengan pasti bahwa istrinya itu akan berbuat demikian. Sedangkan
menurut sebagian ulama’ lain menjelaskan bahwa yang dimaksud “takut nusyuz”
adalah jika disangkanya istri itu telah melakukan nusyuz dengan memperhatikan
qarinah (gerak-gerik) istri yang berubah dari yang biasanya dalam melayani
suaminya. Jika telah terjadi nusyuz yang demikian, Alqur’an telah memberikan
solusi/langkah-langkah bagaimana cara
menghadapi seorang istri yang nusyuz, yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 34[5]:
a.
Memberikan
nasehat dan petuah
b.
Jika
nasihat tidak efektif dan istri tidak terpengruh oleh nasihat itu, maka suami harus
menghindarinya di tempat tidur, tidak berbicara dengannya dan tidak
mendekatinya serta tidak melakukan hubungan suami istri, dengan harpan istri
menyadari kesalahannya. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan menghindarinya
di tempat tidur adalah teteap berada di tempat tidur, namun tidak boleh
berjima’ dengannya dan tidurnya dengan cara membelakanginya atau
memunggunginya. Menurut Said bin Zubair, ditinggalkannya dari mencampuri
istrinya. Sedangkan menurut Sya’bi, ditinggalkanya sebantal segulingan dengan
istrinya (tidak bersetubuh)[6].
c.
Jika cara
yang kedua tersebut masih tidak efektif. Menurut yang hadits diwayatkan oleh
Thabari dapat dilakukan pukulan yang tidak terlalu keras dan tidak sampai
menyakitkan/melukai badannya.[7].
Dalam hal memukul, hendaknya menjauhi bagian muka dan tempat-tempat lain yang
membahayakan, karena memukul ini tujuannya dapat memberikan pelajaran (ta’zir).
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW)[8].
عَنْ حَكِيْم
بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقَشَيْرِي عَنْ أبِيْهِ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللَّه،
مَا حَقُّ زَوْجَةِ أحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: انْ تُطْمِعَهَا اذَا طَعِمَتْ
وَتَكْسُوْهَا إذَاكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا
تَهْجُرْ إلَّا فِى الْبَيْتِ
Artinya: “Dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairy, dari ayahnya, ia
berkata, “saya bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri pada
suaminya?” Beliau bersabda, h”Hendaklah kamu memberi makan dia jika engkau
makan. Berilah pakaian kepadanya seperti cara engkau berpakaian. Jangan pukul
mukanya, jangan menjelek-jelekkan dan jangan engkau meninggalkannya kecuali
masih dalam serumah… “. (HR. Abu Dwaud).
Mengenai nusyuz ini di
Indonesia telah diatur, yakni dalam KHI pasal 80 ayat (7) yang berbunyi
“Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz”[9].
Selain itu juga diatur pada pasal 84 KHI yang berbunyi “(1) istri dapat
dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah, (2) selama
istri nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)
huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya,
(3)kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri
nusyuz, (4) ketentuan tentang ada atau tidak adaya nusyuz dari istri harus ada
bukti yang sah.”[10].
2.
Syiqaq
Kata syiqaq berasal dari bahasa arab al-syaqqu yang berarti sisi.
Adanyaperselisihan suami-isteri disebut “sisi”, karena masing-masing pihak yang
berselisih itu\berada pada sisi yang berlainan, disebabkan adanya permusuhan
dan pertentangan, sehingga padanan katanya adalah perselisihan; (al-khilaf);
perpecahan; permusuhan; (aladawah).
Syiqaq memiliki arti sama dengan al-khilaf (perselisihan)
atau al-‘adawah (pertentangan atau
persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan antara suami dengan istri.Hal
ini biasanya timbul karena suami atau istri tidak melaksanakan kewajibannya,
maka dalam ayat di atas diperintahkan untuk mencari hakim guna menjadi juru
damai di antara keduanya.
Ada
beberapa pandangan tentang syiqaq.Ada yang berpendapat bahwa dikatakan syiqaq
kalau selisihnya itu mengandung unsur membahayakan suami isteri dan terjadi
pecahnya perkawinan, sedangkan bila tidak mengandung unsur-unsur yang
membahayakan dan belum sampai pada tingkat darurat, maka hal tersebut belum
dikatakan syiqaq.
Pertentangan
atau persengketaan Menurut istilah fiqih ialah perselisihan suami istri yang
diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak istri.Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan
permasalahan syiqaq dengan cukup lugas. Al-syiqaq berarti perselisihan yang
berpotensi membuat dua pihak berpisah, dan ketakutan masing-masing pihak akan
terjadinya perpisahan itu dengan lahirnya sebab-sebab perselisihan.
C. PENGERTIAN DAN PENGANGKATAN HAKAMAIN
Hakamain merupakan bentuk
tatsniyah dari kata “hakam” yang artinya juru damai.Jadi, hakamain
adalah juru damai yang dikirim oleh kedua belah pihak suami dan istri apabila
terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar
dan siapa yang salah[11].
Menurut Wahbah al-Zuhaili,
suatu rumah tangga dikatakan syiqaq sehinggamembutuhkan adanya pengangkatan
hakamain, secara teori melewati beberapa fase, antara lain: 1)mu’asyarah bi
al-ma’ruf, adanya itikad baik dan upaya sungguh-sungguh kedua belah pihak
menciptakan hubungan yang baik, 2) al-shabr,
yaitu kesabaran dan upaya bertahan menghadapi ujian yangtimbul sebagai akibat
perkawinan termasuk sikap pasangan yang nusyuz, 3) tahammul al-adza, adalah
situasi seorang suami dengan pantang menyerah menanggung beban fisik dan mental
dalam melaksanakan kewajibannya, 4) alwa’zhu,
upaya suami memberikan nasihat kepada isterinya dengan hikmah dan kebijaksanaa,
5) al-hajr, upaya
(nasihat) suami dengan cara membatasi komunikasi terhadap isteri, 6) al-dharb al-yasir, upaya
tegas suami terhadap isteri yang pula berupa sikap fisik yang wajar, 7) irsal al-hakamain, upaya
mediasi antar keluarga kedua belah pihak dengan pengangkatan hakamain[12].
Dalam mengatasi
kemelut rumah tangga (syiqaq), Islam memerintahkan agar dilakukan arbitrase
(tahkim).Suami boleh mengutus seorang hakam dan istri boleh pula mengutus
seorang hakam, yang mewakili masing – masing. Namun sebaik- baiknya terdiri
dari kaum keluarganya, yang mengetahui dengan baik perihal suami istri itu,
jika tidak ada boleh diambil dari orang lain. Pengutusan hakim ini bermaksud
untuk menelusuri sebab- sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan
keluar guna memberikan penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi
oleh kedua suami istri tersebut.
Filosofi mengangkat hakam dari
pihakkeluarga adalah mereka dianggap lebih tahu keadaan suami isteri secara
baik.Keluarga kedua belah pihak memiliki misi untuk mendamaikan percekcokan yang
terjadi diantara keduanya sehingga peluang suami isteri untuk menyampaikan
uneg-unegnya dapat dilakukan tanpa banyak hambatan.
Dalam permaslahan hakim, sayid
sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah mensyaratkan 4 syarat bagi
seorang hakim yaitu; berakal, baligh, adil, muslim dalam pendapat lain menambahi satu
syarat yaitu seorang laki-laki, akan tetapi hakim
tersebut tidak di syaratkan dari kerabat/keluarga suami istri tersebut, maka
dengan demikian hakim boleh dari dari orang lain yang memenuhi kriteria yang
telah disyaratkan.
Menurut Mahmud
Syaltut berpendapat mengutus juru damai merupakan tugas wajib ‘ain (setiap
orang) bagi keluarga kedua suami istri. Kewajiban ini akan berpindah ke
pengadilan apabila keluarga kedua pihak suami dan istri tidak mampu lagi untuk
merukunkan kembali pasangan suami istri tersebut.
D. KEDUDUKAN DAN PERAN HAKAMAIN.
Dalam hal
wewenang hakam dalam kasus syiqaq, terdapat perbedaan pendapat antarulama
Fiqh.Menurut ulama Hanafi, qaul qadim Imam Syafi’I, sebagian pengikut
madzhab Hanbali, Hasan al-Basri dan Ibn Qatadah, hakam tidak berwenang untuk
menjatuhkan talaq suami terhadap istri dan dari pihak istri tidak boleh
mengadakan khuluk tanpa persetujuan istri. Pendapat mereka ini
sebagai konsekuensi dari pandangan mereka bahwa hakam tersebut hanya
berstatus sebagai wakil. Hakam berwenang mengambil suatu keputusan hanya sepanjang
dizinkan oleh suami istri yang mewakilkannya[13].
Sedangkan menurut pendapat yang
lain yaitu sebagian pengikut Imam Hanbali yang lain, qaul jadid dari
Imam Syafi’i, Ibn Munzir, Imam Malik, Ibn Abbas menyatakan bahwa kedua hakam
berkedudukan sebagai hakim dan dapat memutuskan keputusan yang mereka anggap
baik, apakah mereka harus bercerai atau berdamai kembali. Hal ini beralasan
pada petunjuk ayat tersebut[14].
Sebagian ahli takwil
berpendapat bahwa yang diperintahkan atau yang berhak mengirim seorang hakam
adalah penguasa (hakim) yang menangani kasus tersebut. Ada juga yang berpendapat bahwa yang
diperintahkan untuk mengirim hakam adalah suami dan istri yang berselisih.
Jika terjadi persengketaan
antara suami istri, maka selayaknya mereka mendatangkan seorang hakam
(mediator) dari keluarga kedua belah pihak untuk bermusyawarah mencari jalan
keluar (solusi). Hakam disyaratkan harus orang yang adil, dari kerabat, dan
mempunyai pengalaman dalam urusan rumah tangga (keluarga) dan pendapat yang
lain tidak harus dari kerabat.
Hisyam berkata dalam hadisnya,
“Wanita itu berkata,’Aku telah ridha terhadap kitab Allah, baik (terhadap
sesuatu yang) bermanfaat bagiku maupun yang mudharat bagiku”.Lelaki itu
berkata, ‘Adapun perpisahan, tidak’.Ali lalu berkata, ‘Engkau telah berdusta.
Demi Allah, (janganlah engkau kembali) hingga engkau ridha (terhadap sesuatu),
seperti istrimu ridha terhadap sesuatu itu”.
Cara penyelesaiannya ialah
hakam dari pihak laki-laki berpartner dengan suami, sedang hakam dari pihak
perempuan berpartner dengan istri.Setalah itu, masing-masing dari keduanya
berkata kepada partnernya (suami atau istri tersebut), “jujurlah kepadaku
tentang keinginan yang ada dihatimu’.apabila masing-masing dari kedua pasangan
suami-istri itu jujur kepada kedua hakam tersebut, maka kedua hakam itupun berkumpul,
dan masing-masing pihak dari mereka membuat sebuah janji dengan kawannya (hakam
yang lain), “Hendaklah engkau jujur kepadaku tentang keinginan yang dikatakan
partnermu kepadamu, niscaya aku akan jujur kepadamu tentang keinginan yang
dikatakan partnerku kepadaku’. dengan cara seperti ini maka kedua hakam
tersebut akan mengetahui perbuatan yang telah dilakukan oleh partnernya
terhadap pasangannya. Dan para hakam tersebut akan tahu siapa yang berbuat
zalim atau siapa yang bersalah, sehingga keduanya dapat mempertimbangkan dan
mengambil keputusan[15].
Menurut Imam Abu Hanifah,
sebagian pengikut Imam Hambali, dan Qaul Qadimdari Imam Syafi’i, hakam itu
berarti wakil.Menurut Imam Malik, hakam itu sebagai hakim, sehingga berwenang
memberikan keputusan
sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami istri yahg sedang berselisih itu, apakah ia akan
memberikan keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar berdamai
kembali[16].
Dalam praktek peradilan agama
di Indonesia, fungsi hakam terbatas yaitu untukmencari upaya penyelesaian
perselisihan dan fungsi tersebut tidak dibarengi dengankewenangan untuk
menjatuhkan putusan.Berarti setelah hakam berupaya mencoba mencaripenyelesaian
diantara suami istri, fungsi dan kewenangannya berhenti sampai disitu.Hakam
mempunyai fungsi kewajiban yang melaporkan kepada pengadilan sampai sejauhmana
usaha yang telah dilakukannya, dan apa hasil yang telah diperolehnya selama
hakammenjalankan fungsinya. Hakam hanya sekedar usaha penjajakan penyelesaian
perselisihandiantara suami istri tanpa dibarengi dengan kewenangan mengambil
putusan.
E. KANDUNGAN HUKUM SURAT AN-NISA’ AYAT
34-35
1.
Seorang
suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, dan ketika seorang sua,I sudah
melaksanakan kewajibannya tersebut, maka seorang istri wajib mentaati suaminya.
2.
Kewajiban
seorang suami gugur ketika istrinya berbuat nusyuz.
3.
Hal-hal
yang harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1) menasehatinya, 2)
menghindarinya tempat tidur. 3) memukulnya.
4.
Ketika
terjadi perselisihan antara sepasang suami istri maka harus mengutus hakamain
(2 orang mediator) untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut agar
kembali seperti semula, yakni satu hakam dari pihak suami dan satu hakam dari
pihak istri.
5.
Hakamain
hendaknya diambil dari kerabat terdekat karena kerabat lebih memahami keadaan rumah tangga saudaranya tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Nusyuz menurut
bahasa berarti tertangakat, durhaka, membangkang.Sedangkan menurut istilah,
nusyuz adalah seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suaminya tanpa
alasan yang dapat diterima oleh syara’.Jadi, Istri nusyuz adalah istri yang
telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan tidak menjalankan segala
kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti keluar rumah tanpa izin
suaminya.
Hal-hal yang
harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1) menasehatinya, 2) menghindarinya
tempat tidur. 3) memukulnya.
Syiqaq memiliki arti sama dengan al-khilaf (perselisihan)
atau al-‘adawah (pertentangan atau
persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan antara suami dengan istri.Hal
ini biasanya timbul karena suami atau istri tidak melaksanakan kewajibannya,
maka dalam ayat di atas diperintahkan untuk mengutus 2 orang hakim guna menjadi
juru damai di antara keduanya.Yakni satu hakim dari pihak suami dan satu hakim
dari pihak istri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Rifka.Tafsir Ahkam Al-Qran
Abu Bakar. http://rifka-abdillah.blogspot.com.Sabtu 09 Mei 2015
(09:55).IT Perpus IAIN Jember.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad.
2000. Cahaya Al-Qur’an : Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah-Al-An’am.
Jakata: Pustaka Al-Kautsar.
Binjai, Syekh H. Abdul Halim
Hasan. 2006. Tafsir Ahkam. Jakarta: Kencana.
H. Abdul Halim Hasan Binjai,
Syekh. 2006. Tafsir Ahkam. Jakarta: Kencana.
Muhdlor, A. Zuhdi. 1994. Memahami
Hukum Perkawinan Menuju Keluarga Bahagia. Bandung: Al-Bayan.
Quthb, Sayyid.
2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: di bawah Naungan Al-Qur’an. Jakarta:
Gema Insani.
Sabiq, Sayyid. Fiqih
Sunnah Jilid V-VIII. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Tihami dan Sahrani,Sohari. 2009. Fikih Munakahat:
Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2011. Kompilasi Hukum
Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan). Bandung: Nuansa Aulia.
[1]Sayyid
Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: di bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani, 2001), h. 352.
[2]Syekh H.
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
263.
[3] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.
185.
[4]Rifka Abdillah, Tafsir Ahkam
Al-Qran Abu Bakar, http://rifka-abdillah.blogspot.com, Sabtu 09 Mei
‘5 (09:55), IT Perpus IAIN Jember
[5]MuhammadAli
Ash-Shabuni, Cahaya Al-Qur’an : Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah-Al-An’am, (Jakata: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 199.
[6] Syekh H. Abdul, Tafsir Ahkam,h.
264.
[7]Ibid.
[8] Tihami, Fikih Munakahat,h. 187.
[9]Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi
Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan), (Bandung: Nuansa
Aulia, 2011), h. 25.
[10]Ibid., h.27.
[11]Tihami, Fikih Munakahat, h. 189.
[12] __, “Makalah Syiqaq”, https://seputarilmu.wordpress.com/2012/04/05/syiqoq/, (sabtu 09 Mei ‘5
(09:55)), Digital
Library
IAIN Jember.
[13]Tihami, Fikih Munakahat, h. 190.
[14]Ibid.
[16] __, “Makalah Syiqaq”.
No comments:
Post a Comment