Search makalah

Tuesday, 7 November 2017

MAKALAH TAFSIR SURAT AN-NISA’ AYAT 34-35 TENTANG SYIQAQ (PENYEBAB PERCERAIAN) DAN HAKAMAIN

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan suatu hubungan yang mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui akad untuk membina rumah tangga.Dengan adanya hubungan tersebut, maka dihalalkan bagi laki dan perempuan tersebut untuk melakukan segala sesuatu, termasuk hubungan intim yang pada mulanya dilarang ketika masih belum ada ikatan perkawinan,sehingga bisa memperoleh keturunan yang baik.

Dalam proses perjalanan membinarumah tangga tersebut, tidak jarang terjadi perselisihan (syiqaq) di antara suami istri dikarenakn suatu hal tertentu yang memicu keretakan rumah tangga.Percekcokan dan permusuhan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami istri akan menimbulkan keretakan rumah tangga yang berujung pada tombak perceraian.
Ada beberapa hal yang harus kita ketahui dalam menghadapi dan menyelesaikan perselisihan ini untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya perceraian, salah satunya dengan mengadakan hakamain sebagai mediator untukmenengahi suami-istri agar bisa bersatu kembali dalam membina rumah tangga. Nah, untuk selebihnya kami akan membahas mengenai apa itu syiqaq (perselisihan) dn bagaimana cara penyelesaiannya, termasuk diadakannya hakamain ini secara lebih detail pada bab Pembahasan.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana isi surat an-Nisa’ ayat 34-35 ?
2.    Apakah yang dimaksud dengan syiqaq ?
3.    Bagaimana cara penyelesaian syiqaq yang terjadi dalam rumah tangga ?
4.    Apa yang dimaksud dengan hakamain ?
5.    Bagaimana posisi dan peran kedudukan hakamain dalam menyelesaikan syiqaq yang terjadi dalam suatu rumah tangga tertentu ?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.    Untuk mengetahui bagaimana isi surat an-Nisa’ ayat 34-35.
2.    Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan syiqaq.
3.    Untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian syiqaq yang terjadi dalam rumah tangga.
4.    Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan hakamain.
5.    Untuk mengetahui  posisi dan peran hakamain dalam menyelesaikan syiqaq yang terjadi dalam suatu rumah tangga tertentu.
6.    Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  SURAT AN-NISA’ AYAT 34-35
Pembahasan tentang nusyuz dan syiqaq serta cara menghadapinya dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 34-35 adalah sebagai berikut:
الِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآ أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَلنِتَاتٌ حَفِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَالّاتِ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَاتَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلَا إنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ﴿۳۴﴾وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيْدَآ إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَآ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا ﴿۳۵
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, serta pukullah mereka.Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Jika kamu khawtirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari kelurga wanita. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.An-Nisa’: 34-35)[1].

B.  PENGERTIAN NUSYUZ DAN SYIQAQ SERTA CARA MENGHADAPINYA
1.    Nusyuz
Nusyuz pada asalnya berarti “terangkat” atau tertinggi. Seorang perempuan yang keluar meninggalkan rumah dan tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan menganggap ia lebih tinggi dari suaminya, singkat kata yaitu istri yang durhaka pada suaminya.[2]
Menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suaminya tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara[3]’.
Jadi, Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti keluar rumah tanpa izin suaminya.Oleh karenanya, seorang istri tidak masuk dalam katagori nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang tidak diwajibkan pada seorang istri. Maka, jika ia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan dengan kebutuhan biologis seperti: menyapu, menjahit, memasak dan selainnya, walaupun menyiapkan air minum dan menyiapkan tempat tidur semua itu tidak masuk katagori nusyuz[4].
Dalam surat An-Nisa’ ayat 34 tersebut di atas ada kata “takut nusyuz”, menurut sebagian ulama’, maksud dari “takut nusyuz pada ayat tersebut adalah jika diketahuinya dengan pasti bahwa istrinya itu akan berbuat demikian. Sedangkan menurut sebagian ulama’ lain menjelaskan bahwa yang dimaksud “takut nusyuz” adalah jika disangkanya istri itu telah melakukan nusyuz dengan memperhatikan qarinah (gerak-gerik) istri yang berubah dari yang biasanya dalam melayani suaminya. Jika telah terjadi nusyuz yang demikian, Alqur’an telah memberikan solusi/langkah-langkah bagaimana cara menghadapi seorang istri yang nusyuz, yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 34[5]:
a.         Memberikan nasehat dan petuah
b.        Jika nasihat tidak efektif dan istri tidak terpengruh  oleh nasihat itu, maka suami harus menghindarinya di tempat tidur, tidak berbicara dengannya dan tidak mendekatinya serta tidak melakukan hubungan suami istri, dengan harpan istri menyadari kesalahannya. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan menghindarinya di tempat tidur adalah teteap berada di tempat tidur, namun tidak boleh berjima’ dengannya dan tidurnya dengan cara membelakanginya atau memunggunginya. Menurut Said bin Zubair, ditinggalkannya dari mencampuri istrinya. Sedangkan menurut Sya’bi, ditinggalkanya sebantal segulingan dengan istrinya (tidak bersetubuh)[6].
c.         Jika cara yang kedua tersebut masih tidak efektif. Menurut yang hadits diwayatkan oleh Thabari dapat dilakukan pukulan yang tidak terlalu keras dan tidak sampai menyakitkan/melukai badannya.[7]. Dalam hal memukul, hendaknya menjauhi bagian muka dan tempat-tempat lain yang membahayakan, karena memukul ini tujuannya dapat memberikan pelajaran (ta’zir). Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW)[8].
عَنْ حَكِيْم بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقَشَيْرِي عَنْ أبِيْهِ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللَّه، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: انْ تُطْمِعَهَا اذَا طَعِمَتْ وَتَكْسُوْهَا إذَاكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إلَّا فِى الْبَيْتِ
Artinya: “Dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairy, dari ayahnya, ia berkata, “saya bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri pada suaminya?” Beliau bersabda, h”Hendaklah kamu memberi makan dia jika engkau makan. Berilah pakaian kepadanya seperti cara engkau berpakaian. Jangan pukul mukanya, jangan menjelek-jelekkan dan jangan engkau meninggalkannya kecuali masih dalam serumah… “. (HR. Abu Dwaud).
Mengenai nusyuz ini di Indonesia telah diatur, yakni dalam KHI pasal 80 ayat (7) yang berbunyi “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz”[9]. Selain itu juga diatur pada pasal 84 KHI yang berbunyi “(1) istri dapat dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah, (2) selama istri nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya, (3)kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri nusyuz, (4) ketentuan tentang ada atau tidak adaya nusyuz dari istri harus ada bukti yang sah.”[10].
2.        Syiqaq
Kata syiqaq berasal dari bahasa arab al-syaqqu yang berarti sisi. Adanyaperselisihan suami-isteri disebut “sisi”, karena masing-masing pihak yang berselisih itu\berada pada sisi yang berlainan, disebabkan adanya permusuhan dan pertentangan, sehingga padanan katanya adalah perselisihan; (al-khilaf); perpecahan; permusuhan; (aladawah).
Syiqaq memiliki arti sama dengan al-khilaf (perselisihan) atau al-‘adawah (pertentangan atau persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan antara suami dengan istri.Hal ini biasanya timbul karena suami atau istri tidak melaksanakan kewajibannya, maka dalam ayat di atas diperintahkan untuk mencari hakim guna menjadi juru damai di antara keduanya.
Ada beberapa pandangan tentang syiqaq.Ada yang berpendapat bahwa dikatakan syiqaq kalau selisihnya itu mengandung unsur membahayakan suami isteri dan terjadi pecahnya perkawinan, sedangkan bila tidak mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai pada tingkat darurat, maka hal tersebut belum dikatakan syiqaq.
Pertentangan atau persengketaan Menurut istilah fiqih ialah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan permasalahan syiqaq dengan cukup lugas. Al-syiqaq berarti perselisihan yang berpotensi membuat dua pihak berpisah, dan ketakutan masing-masing pihak akan terjadinya perpisahan itu dengan lahirnya sebab-sebab perselisihan.
C.  PENGERTIAN DAN PENGANGKATAN HAKAMAIN
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari kata “hakam” yang artinya juru damai.Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh kedua belah pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah[11].
Menurut Wahbah al-Zuhaili, suatu rumah tangga dikatakan syiqaq sehinggamembutuhkan adanya pengangkatan hakamain, secara teori melewati beberapa fase, antara lain: 1)mu’asyarah bi al-ma’ruf, adanya itikad baik dan upaya sungguh-sungguh kedua belah pihak menciptakan hubungan yang baik, 2) al-shabr, yaitu kesabaran dan upaya bertahan menghadapi ujian yangtimbul sebagai akibat perkawinan termasuk sikap pasangan yang nusyuz, 3) tahammul al-adza, adalah situasi seorang suami dengan pantang menyerah menanggung beban fisik dan mental dalam melaksanakan kewajibannya, 4) alwa’zhu, upaya suami memberikan nasihat kepada isterinya dengan hikmah dan kebijaksanaa, 5) al-hajr, upaya (nasihat) suami dengan cara membatasi komunikasi terhadap isteri, 6) al-dharb al-yasir, upaya tegas suami terhadap isteri yang pula berupa sikap fisik yang wajar, 7) irsal al-hakamain, upaya mediasi antar keluarga kedua belah pihak dengan pengangkatan hakamain[12].
Dalam mengatasi kemelut rumah tangga (syiqaq), Islam memerintahkan agar dilakukan arbitrase (tahkim).Suami boleh mengutus seorang hakam dan istri boleh pula mengutus seorang hakam, yang mewakili masing – masing. Namun sebaik- baiknya terdiri dari kaum keluarganya, yang mengetahui dengan baik perihal suami istri itu, jika tidak ada boleh diambil dari orang lain. Pengutusan hakim ini bermaksud untuk menelusuri sebab- sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami istri tersebut.
Filosofi mengangkat hakam dari pihakkeluarga adalah mereka dianggap lebih tahu keadaan suami isteri secara baik.Keluarga kedua belah pihak memiliki misi untuk mendamaikan percekcokan yang terjadi diantara keduanya sehingga peluang suami isteri untuk menyampaikan uneg-unegnya dapat dilakukan tanpa banyak hambatan.
Dalam permaslahan hakim, sayid sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah mensyaratkan 4 syarat bagi seorang hakim yaitu; berakal, baligh, adil, muslim dalam pendapat lain menambahi satu syarat yaitu seorang laki-laki, akan tetapi hakim tersebut tidak di syaratkan dari kerabat/keluarga suami istri tersebut, maka dengan demikian hakim boleh dari dari orang lain yang memenuhi kriteria yang telah disyaratkan.
Menurut Mahmud Syaltut berpendapat mengutus juru damai merupakan tugas wajib ‘ain (setiap orang) bagi keluarga kedua suami istri. Kewajiban ini akan berpindah ke pengadilan apabila keluarga kedua pihak suami dan istri tidak mampu lagi untuk merukunkan kembali pasangan suami istri tersebut.
D.  KEDUDUKAN DAN PERAN HAKAMAIN.
Dalam hal wewenang hakam dalam kasus syiqaq, terdapat perbedaan pendapat antarulama Fiqh.Menurut ulama Hanafi, qaul qadim Imam Syafi’I, sebagian pengikut madzhab Hanbali, Hasan al-Basri dan Ibn Qatadah, hakam tidak berwenang untuk menjatuhkan talaq suami terhadap istri dan dari pihak istri tidak boleh mengadakan khuluk tanpa persetujuan istri.  Pendapat mereka ini sebagai konsekuensi dari pandangan mereka bahwa hakam  tersebut hanya berstatus sebagai wakil. Hakam berwenang mengambil suatu keputusan hanya sepanjang dizinkan oleh suami istri yang mewakilkannya[13].
Sedangkan menurut pendapat yang lain yaitu sebagian pengikut Imam Hanbali yang lain, qaul jadid dari Imam Syafi’i, Ibn Munzir, Imam Malik, Ibn Abbas menyatakan bahwa kedua hakam berkedudukan sebagai hakim dan dapat memutuskan keputusan yang mereka anggap baik, apakah mereka harus bercerai atau berdamai kembali. Hal ini beralasan pada petunjuk ayat tersebut[14].
Sebagian ahli takwil berpendapat bahwa yang diperintahkan atau yang berhak mengirim seorang hakam adalah penguasa (hakim) yang menangani kasus tersebut. Ada juga yang berpendapat bahwa yang diperintahkan untuk mengirim hakam adalah suami dan istri yang berselisih.
Jika terjadi persengketaan antara suami istri, maka selayaknya mereka mendatangkan seorang hakam (mediator) dari keluarga kedua belah pihak untuk bermusyawarah mencari jalan keluar (solusi). Hakam disyaratkan harus orang yang adil, dari kerabat, dan mempunyai pengalaman dalam urusan rumah tangga (keluarga) dan pendapat yang lain tidak harus dari kerabat.
Hisyam berkata dalam hadisnya, “Wanita itu berkata,’Aku telah ridha terhadap kitab Allah, baik (terhadap sesuatu yang) bermanfaat bagiku maupun yang mudharat bagiku”.Lelaki itu berkata, ‘Adapun perpisahan, tidak’.Ali lalu berkata, ‘Engkau telah berdusta. Demi Allah, (janganlah engkau kembali) hingga engkau ridha (terhadap sesuatu), seperti istrimu ridha terhadap sesuatu itu”.
Cara penyelesaiannya ialah hakam dari pihak laki-laki berpartner dengan suami, sedang hakam dari pihak perempuan berpartner dengan istri.Setalah itu, masing-masing dari keduanya berkata kepada partnernya (suami atau istri tersebut), “jujurlah kepadaku tentang keinginan yang ada dihatimu’.apabila masing-masing dari kedua pasangan suami-istri itu jujur kepada kedua hakam tersebut, maka kedua hakam itupun berkumpul, dan masing-masing pihak dari mereka membuat sebuah janji dengan kawannya (hakam yang lain), “Hendaklah engkau jujur kepadaku tentang keinginan yang dikatakan partnermu kepadamu, niscaya aku akan jujur kepadamu tentang keinginan yang dikatakan partnerku kepadaku’. dengan cara seperti ini maka kedua hakam tersebut akan mengetahui perbuatan yang telah dilakukan oleh partnernya terhadap pasangannya. Dan para hakam tersebut akan tahu siapa yang berbuat zalim atau siapa yang bersalah, sehingga keduanya dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan[15].
Menurut Imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan Qaul Qadimdari Imam Syafi’i, hakam itu berarti wakil.Menurut Imam Malik, hakam itu sebagai hakim, sehingga berwenang memberikan keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami istri yahg sedang berselisih itu, apakah ia akan memberikan keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar berdamai kembali[16].
Dalam praktek peradilan agama di Indonesia, fungsi hakam terbatas yaitu untukmencari upaya penyelesaian perselisihan dan fungsi tersebut tidak dibarengi dengankewenangan untuk menjatuhkan putusan.Berarti setelah hakam berupaya mencoba mencaripenyelesaian diantara suami istri, fungsi dan kewenangannya berhenti sampai disitu.Hakam mempunyai fungsi kewajiban yang melaporkan kepada pengadilan sampai sejauhmana usaha yang telah dilakukannya, dan apa hasil yang telah diperolehnya selama hakammenjalankan fungsinya. Hakam hanya sekedar usaha penjajakan penyelesaian perselisihandiantara suami istri tanpa dibarengi dengan kewenangan mengambil putusan.
E.  KANDUNGAN HUKUM SURAT AN-NISA’ AYAT 34-35
1.        Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, dan ketika seorang sua,I sudah melaksanakan kewajibannya tersebut, maka seorang istri wajib mentaati suaminya.
2.        Kewajiban seorang suami gugur ketika istrinya berbuat nusyuz.
3.        Hal-hal yang harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1) menasehatinya, 2) menghindarinya tempat tidur. 3) memukulnya.
4.        Ketika terjadi perselisihan antara sepasang suami istri maka harus mengutus hakamain (2 orang mediator) untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut agar kembali seperti semula, yakni satu hakam dari pihak suami dan satu hakam dari pihak istri.
5.        Hakamain hendaknya diambil dari kerabat terdekat karena kerabat lebih memahami  keadaan rumah tangga saudaranya tersebut.














BAB III
KESIMPULAN

Nusyuz menurut bahasa berarti tertangakat, durhaka, membangkang.Sedangkan menurut istilah, nusyuz adalah seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suaminya tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’.Jadi, Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti keluar rumah tanpa izin suaminya.
Hal-hal yang harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1) menasehatinya, 2) menghindarinya tempat tidur. 3) memukulnya.
Syiqaq memiliki arti sama dengan al-khilaf (perselisihan) atau al-‘adawah (pertentangan atau persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan antara suami dengan istri.Hal ini biasanya timbul karena suami atau istri tidak melaksanakan kewajibannya, maka dalam ayat di atas diperintahkan untuk mengutus 2 orang hakim guna menjadi juru damai di antara keduanya.Yakni satu hakim dari pihak suami dan satu hakim dari pihak istri.














DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Rifka.Tafsir Ahkam Al-Qran Abu Bakar. http://rifka-abdillah.blogspot.com.Sabtu 09 Mei 2015 (09:55).IT Perpus IAIN Jember.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 2000. Cahaya Al-Qur’an : Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah-Al-An’am. Jakata: Pustaka Al-Kautsar.
Binjai, Syekh H. Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsir Ahkam. Jakarta: Kencana.
H. Abdul Halim Hasan Binjai, Syekh. 2006. Tafsir Ahkam. Jakarta: Kencana.
Muhdlor, A. Zuhdi. 1994. Memahami Hukum Perkawinan Menuju Keluarga Bahagia. Bandung: Al-Bayan.
Quthb, Sayyid. 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: di bawah Naungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid V-VIII. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Tihami dan Sahrani,Sohari. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2011. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan). Bandung: Nuansa Aulia.








[1]Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: di bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 352.
[2]Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 263.
[3] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 185.
[4]Rifka Abdillah, Tafsir Ahkam Al-Qran Abu Bakar, http://rifka-abdillah.blogspot.com, Sabtu 09 Mei ‘5 (09:55), IT Perpus IAIN Jember
[5]MuhammadAli Ash-Shabuni, Cahaya Al-Qur’an : Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah-Al-An’am,  (Jakata: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 199.
[6] Syekh H. Abdul, Tafsir Ahkam,h. 264.
[7]Ibid.
[8] Tihami, Fikih  Munakahat,h. 187.
[9]Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan), (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h. 25.
[10]Ibid., h.27.
[11]Tihami, Fikih  Munakahat, h. 189.
[12] __, “Makalah Syiqaq”, https://seputarilmu.wordpress.com/2012/04/05/syiqoq/,  (sabtu 09 Mei ‘5 (09:55)), Digital Library IAIN Jember.
[13]Tihami, Fikih  Munakahat, h. 190.
[14]Ibid.
[16] __, “Makalah Syiqaq”.

No comments:

cari judul makalah